Jumat, 25 Oktober 2019

Tanpa Matahari Kehidupan Hancur Tapi Tanpa Iman Akan Lebih Hancur Lagi: End Of Universe

Bagian 7

"Halo! "Seru ku setelah menggeser layar gawai.

"Halo, assalamualaikum." Jawab suara diseberang sana.

"Mut ini aku, Laila."Lanjutnya lagi.

"Oh Laila, kamu pakai nomor siapa?" Tanyaku.

"Nomor Ibuku, handphoneku mati sejak kemarin. Aku tidak menemukan sumber listrik untuk men-charge-nya." Akunya.

Di kampung Laila, memang belum tersentuh listrik, semua aktivitas yang membutuhkan listrik harus menggunakan mesin diesel sebagai sumbernya. Dengan kondisi Matahari yang belum muncul hingga kini aku tak bisa membayangkan seperti apa gelapnya kampung  Laila di siang begini.

Kutanyakan kabar dan apa yang ia butuhkan untuk dibantu olehku.

"Mut, tolong izinin aku lagi dong di kantor. Ibuku sakit, ini sementara lagi dirawat di PKM rencananya nanti mau rujuk ke kecamatan. " pintanya.

"Sakit apa La?. Bukannya cuti mu masih beberapa hari lagi?" aku menyanggah.

"Ini Mut, asma ibuku kambuh gak tahan dingin soalnya, cuaca beberapa hari ini yang semakin dingin pemicunya. "

"Masih ada beberapa hari di waktu cutiku namun untuk berjaga-jaga kalo perawatan ibuku membutuhkan waktu lebih, setidaknya aku sudah dapat izin lagi". Tambahnya.

"okelah gini aja, nanti kalau waktu cutimu habis dan kamu belum masuk, nanti aku bantu izinin deh. Gimana La? " Saranku.

" Baiklah kalo gitu, yang terbaik aja menurutmu." Laila menurut.

"Ya, sudah kamu tenang disana. Gak usah pikirin urusan disini, fokus jaga ibu aja baik-baik. " sambungku.

" Oke assalamualaikum!" Tutup Laila.

"Waalaikumussalam". Jawab ku dibarengi dengan suara "klik" tanda sambungan terputus.

Kulirik jam weker di atas nakas, limabelas menit lagi masuk waktu ashar. Rupanya aku tertidur lumayan lama setelah dhuhur. Telepon dari Laila tadi membangunkanku.

Kusibak Selimut tebal yang menutupi diri lalu tangan meraih jilbab hijau lebar berbahan kaos di ujung tempat tidur, mengenakannya kemudian melangkah keluar kamar.

Netra menyapu seluruh ruangan, namun tak kutemukan sosok Ibu, Kakek dan Tina.
"Dimanakah mereka berada, seharusnya mereka tidak kemana-mana. Bukankah ini sudah hampir waktu ashar?" Aku membatin.

Kaki melangkah menjelajahi semua ruangan di rumah, kulihat kamar kakek tampak gelap karena lampu tak dinyalakan. Kuputuskan untuk berjalan kehalaman belakang, karena terlihat seperti bayang nyala api dari posisiku didalam rumah.

Benar saja, kaki terhenti saat tiba disana. Keluarga yang terdiri dari tiga generasi itu sedang berkumpul disana mengelilingi tumpukan kayu yang terbakar dan menyala.

"Mut, ayo sini gabung". Kata Kakek mengajakku.

Ibu dan Tina melirikku dengan senyum lalu Tina menyodorkan bangku plastik kecil untuk ku duduki.

"Udara semakin dingin, api unggun kecil ini membantu menghangatkan tubuh". Kata Kakek.

"Kalo Mau, buat sendiri tehnya didalam". Ibu menambahkan sambil menikmati cangkirnya.

"Nanti aja, Sudah mau Ashar". Kataku

"Tadi Mut liat, kayaknya pada serius ngomongin sesuatu. Apa sih? "Tanyaku.

" Ini lagi ngomongin lamaran buat kamu" Tina menimpali sambil mengedipkan sebelah mata.

"Masa sih? ".

Jantungku langsung berdetak kencang, kurasakan pipiku mungkin saja memerah dan terlihat oleh para keluargaku ini. Aku malu.

Melihat hal itu, Ibu dan Kakek langsung tertawa  karena aku salah tingkah. Ibu mendorong Kakek dengan kursi rodanya melangkah masuk. Tina berdiri sambil membawa nampan berisi cangkir kosong, sambil berlalu didepan.

"Ayo masuk sudah waktu Ashar, jangan bengong aja.. Ntar jodohnya lewat". Katanya meledekku dengan tawa kecil.

Berbicara tentang lamaran, kuingat empat tahun lalu saat menyelesaikan pendidikan Strata Satu nya, Tina langsung dilamar oleh teman seorganisasinya di kampus dan langsung dinikahkan oleh Kakek dan orang tuanya.

Tentu saja itu menjadi hal yang membahagiakan untuk Tina, namun Tiga tahun lalu tepat diusia pernikahannya yang ke satu tahun suaminya meninggal karena kecelakaan tunggal saat pulang kerja. Hingga saat ini Tina masih belum membuka pintu hatinya untuk siapapun. Sedangkan aku, tidak ada rekam jejak kedekatan dengan lelaki manapun selama baligh hingga kini.

"Lamaran untukku, apa iya? Dikondisi alam yang tidak memungkinkan ini? "Tanyaku dalam hati.

Gelap memang masih menyelimuti bumi, segelap gambaran jodoh masa depanku.

Oleh: Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur
Baca bagian 6 klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar