Dilihat

Selasa, 10 September 2019

Utamakan Cinta-NYA Sebelum Cintanya


Matahari pukul sembilan pagi bersinar cerah mengangkat dinginnya pagi tadi akibat hujan semalam. Langkah kaki bergerak memasuki halaman rumah mungil nan asri. Aku memang telah berjanji untuk bertemu dengannya lewat chating kemarin sore. Seseorang yang ku minta untuk menjadi narasumber cerita.

Wanita dengan jilbab lebar dan wajah terbalut sehelai kain penutup tampak anggun mempersilahkanku untuk masuk dan duduk diruang tamunya. Ia menyajikan secangkir teh hangat dan setoples Kue Nastar yang katanya sisa lebaran, untuk menemani perbincangan kami pagi itu.

Darinya aku tahu bahwa ia pernah menikah dan memiliki anak, saat kutanya kemana keluarganya karena selama ini ia hanya tinggal sendiri.

“Mereka telah memiliki kehidupannya sendiri, begitu juga denganku”. Jawabnya.

Ya, wanita tegar ini hidup sendiri seperti yang selama ini kami semua ketahui. Diusinya yang beberapa tahun lagi memasuki kepala empat, ia menjalani semua aktivitas keseharian seorang diri dirumah dan mengajar di sebuah sekolah Islam sebagai rutinitas hariannya.

Hidup sendiri tentulah bukan sebuah pilihan yang ia inginkan, namun ini merupakan konsekuensi atas keputusan yang harus ia ambil demi menyelamatkan aqidahnya.

“Mencintai seseorang yang berbeda keyakinan dengan kita memang berat, disatu sisi kita tahu itu dosa, tapi disisi lain perasaan berperan besar”. Lanjutnya.

Sebut saja namanya Anggun, beberapa tahun lalu ia jatuh cinta pada seorang pria yang dikenal dikampus. Dengan perbedaan yang sangat besar karena berbeda keyakinan, sang pria memilih mengalah untuk ikut dengannya, tentunya hal ini menjadi suatu kebahagiaan bagi Anggun karena impiannya untuk hidup bersama pria yang dicintai terpenuhi tanpa rasa bersalah kepada Tuhannya.

Pernikahan yang diimpikan pun terlaksana, mereka hidup berkecukupan pasca kampus dengan mendapatkan pekerjaan yang layak. Kebahagian bertambah dengan kehadiran putri pertama mereka, rasa cinta kian terpupuk.

Namun satu hal yang mengganjal hati Anggun adalah penerimaan pihak keluarga suami terhadapnya belum terbuka sejak awal menikah. Hingga suatu hari sang suami mendapat kabar jika ibunya sakit sehingga membutuhkan kehadirannya. Anggun ikut serta ke daerah suami sekalian menjalin kedekatan keluarganya.

“Sejak sampai disana, saya tidak pernah sekalipun diajak bicara oleh ibu mertua. Hanya adik kakaknya yang mengajak bicara namun terkesan menjaga jarak”. Anggun berkisah.

“Suatu hari terjadi keributan hebat, dirumah ibu mertua kedatangan para keluarganya dan mereka heboh dengan keberadaan kami yang telah bebeda keyakinan. Suamiku disebut penghianat keluarga. Tidak diizinkan untuk hadir dilingkungan keluarga lagi, karena suami bersikeras untuk bertahan akulah yang memilih untuk pulang.” Lanjutnya.

“Terus anaknya bagaimana?” Tanyaku.

“Diminta tinggal disana dengan alasan ibu mertua yang sakit-sakitan dan masih kangen dengan cucunya”. Jawaban yang mengiaskan wajah sendunya.

“Setelah sampai disini apa komunikasi dengan suami masih lancar?” Kutahan diri untuk tidak terlalu mengintrogasi, namun rasa penasaran mengalahkannya.

“Minggu-minggu awal masih lancar, namun semakin kesana suami seperti enggan memberi kabar”. Ia menjawab.

“Hingga suatu hari aku mendapat kabar dari teman lama yang tinggal didaerah itu, ia melihat suamiku bersama keluarganya bersama-sama mengunjungi tempat ibadah mereka dan beribadah disana.”

"Tentu saja hal ini sangat menggangguku, kucoba paksa untuk mendapat kabar darinya via adiknya karena nomornya tidak lagi aktif.”

“Ia, minta agar aku melupakannya. Dan berterus terang bahwa telah kembali pada keyakinannya yang dulu.” Terlihat matanya berkaca-kaca, aku mengambil jeda dengan meneguk minuman yang dihidangkan.

Suasana hening sebentar diantara kami, aku takut memulai bertanya lagi, takut mengorek luka lamanya. Namun tanpa diminta ia melanjutkannya.

“Anak kami bersamanya, dan aku tahu akan sulit untuk meminta anak bersamaku. Hingga kuajukan gugatan cerai kepengadilan, ia sulit melepaskanku katanya masih cinta. Ia minta aku bersama keyakinannya, namun dari lubuk hati yang paling dalam aku tak mampu melakukannya. Allah masih memberikan setitik cahaya keimanan dihatiku yang lama tak mendekat padanya.”

“Dengan adanya masalah rumah tanggaku, aku mulai rutin shalat lima waktu bahkan shalat malam yang kumantapkan hatiku dijalanNya.” Sambungnya.

Ternyata semua rangkaian sidang cerainya berjalan lancar setelah itu, meski dengan rasa rindu yang dalam terhadap anaknya. Ia berusaha bangkit dan mencari jalan hidayah untuknya dengan bergabung disebuah kelompok pengajian yang membawanya hingga pada penampilan saat ini.

Saat kutanya apakah ia belum ingin menikah lagi, jawabannya masih berupaya menghilangkan kenangan rumah tangganya yang dulu.

Oleh: Mardha Umagapi

Terinspirasi Dari kisah seseorang yang pernah singgah dipikiranku.

4 komentar:

  1. Kak, itu nambah gambar gitu gmana caranya???

    #bukannya komen tulisan malah komen penampilan. Maapkeun diri ini. Hihi

    BalasHapus

Berusaha Mengendalikan Hawa Nafsu: Tadabbur An Nazi'at Ayat 40-46

  Ciri-ciri Penghuni Surga 1. Takut pada Allah 2. Mengendalikan hawa nafsu 3. Terlibat dalam dakwah وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَ...