Dilihat

Kamis, 31 Oktober 2019

Peristiwa Akhir Zaman Menjadi Penguat Keimanan Mukmin: End Of Universe

Bagian 11

Kakek melafadzkan dzikir-dzikir dan diikuti oleh kami dengan suara bergetar menahan haru menyaksikan kebenaran berita yang disampaikan oleh Rasul Nya dan bercampur dengan rasa takut akan murka Nya terhadap orang-orang yang mendustakan peringatan.

Suasana diluar rumah mulai ramai,orang-orang memenuhi halaman rumah mereka dan jalanan dengan pandangan mengarah ke langit bagian barat. Ada yang heran, ada yang berteriak saling panggil dalam ketakutan dan ada yang melafadzkan dzikir dengan suara-suara bergetar.

Aku memeluk tubuh ibu dan ikut berdzikir bersamanya, hingga tak terasa butiran bening mengalir dari netraku membasahi pipi. Diri ini larut dalam dzikir dengan Isak tangis takut padaNya. Aku berusaha tegar namun pasrah dengan keadaan sembari membatinkan do'a dalam hati. Berharap kebaikan dan kemurahanNya atas kami hamba tak berdaya ini.

"Ya Allah tidak ada sehelai daunpun yang jatuh dari pohonnya tanpa izin darimu, apatah lagi kejadian sebesar ini. Kami pasrahkan hidup dan mati kami padamu, terimalah segala amal kebaikan kami dan kumpulkan kami sekeluarga di JannahMu."

Kami masih berdiri ditempat menyaksikan peristiwa besar ini, hingga matahari mulai meninggi dan terasa menyengat kulit. Kulirik arloji dipergelangan tangan, pukul sembilan lebih lima belas menit sekarang. Jika mengikuti waktu normal harian, sekarang sudah masuk waktu Dhuha.

Waktu berlalu begitu cepat karena kejadian ini, seharusnya rasa lapar mendera karena perut belum terisi sejak pagi. Sepertinya rasa terkejut dan fokus pada keadaan matahari pagi ini membuat rasa lapar kami hilang.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang ?" Tanya Ibu dengan rasa gugup yang masih tersisa.

"Kita banyak-banyak berdo'a dan bertawakal kepada Allah, semua ini terjadi karena kehendaknya." Jawab Kakek, yang kemudian mulutnya kembali komat-kamit larut dalam dzikir.

Terasa menyengat diluar sini, namun kami masih bertahan menunggu kelanjutan peristiwa hari ini. Setiap orang seakan enggak beranjak. Bahkan ada beberapa orang yang terlihat shock, sepertinya tak pernah menduga bahwa kejadian matahari terbit dari barat akan benar-benar terjadi.

Benarlah jika rukun iman yang terakhir mengharuskan kita untuk beriman kepada hari kiamat. Karena kejadian ini telah datang menjadi penguat keimanan bagi para mukmin dan menjadi momok menakutkan bagi yang tidak mempercayainya.

Oleh: Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur

Baca bagian 10 klik disini

Rabu, 30 Oktober 2019

Mahasuci Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami Telah Mendzalimi Diri Kami: End Of Universe

Bagian 10

Dipembaringan malam ini netraku sulit terpejam, memikirkan keputusan apa yang hendak kuambil setelah membaca biodata yang diberikan Ibu. Ku ingat ibu dan ayah dahulu juga melewati proses pertukaran biodata sebelum menikah. Orang-orang dikalangan kami menyebutnya Ta'aruf. 

Lelaki yang biodatanya aku baca setelah maghrib tadi adalah orang yang masih asing bagiku. Melihatnya pun aku baru pertama kali melalui foto itu. Di lembaran kertas itu tertulis biodata lengkapnya termasuk pekerjaan dan jumlah keluarganya. 

Ada hal yang membuat kami memiliki kesamaan adalah, latar belakang pendidikan dan pekerjaan. Kami sama-sama Sarjana Teknik dan bekerja dibidang yang sama, hanya saja kantornya berbeda. Kesamaan lainnya yaitu iya juga aktif melingkar di pengajian pekanan sama sepertiku. Jika saja tawaran itu disampaikan lebih awal sebelum kejadian alam yang mencekam seperti ini, mungkin aku akan memilih melanjutkan prosesnya.

Menurut yang disampaikan Ibu, berkas itu sebenarnya sudah dari minggu lalu diberikan oleh guru lingkar pekananku yang juga teman dekat Ibu. Namun waktu itu Kakek masuk Rumah Sakit sehingga Ibu lupa akan tawaran tersebut. 

Kulirik jam diatas nakas, pukul sepuluh lebih. Aku harus bersegera untuk tidur jika ingin bangun lebih awal. Suasana alam seperti ini menimbulkan rasa khawatir, dan sebaik-baik penenang adalah dengan mendekatkan diri pada Allah Rabb semesta alam. 

Aku terbangun saat alarm di gawai berbunyi, setingan alarmku pukul tiga dinihari. 

"Tin, ayo kita tahajjud. Panggilku seraya mengguncang tubuhnya. 

Ia menggeliatkan tubuhnya. 
"Aku belum bisa shalat Mut." jawabnya sambil menutup mata. 

Kulanjut membangunkan Ibu, dan segera melangkah membersihkan diri. Ternyata Kakek sudah lebih dulu bangun. Kami bertiga larut dalam tahajjud berjama'ah dan dilanjutkan dengan subuh beberapa jam kemudian. 

"... Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Rabb mu, tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat kebaikan dengan imannya itu... " (QS. Al An'aam: 158) 

Mushaf Al Qur'an dengan terjemahannya masih berada dalam tangan, saat kudengar suara berteriak memanggil dari arah dapur. 

"Kakek...! Bibi...! Mataharinya telah muncul. Teriak Tina dengan nada bergetar. 

Demi mendengar teriakannya aku yang sedang berada dikamar, langsung melompat lari keluar. Ibu mendorong Kakek dengan kursi rodanya kearah dapur.

Jendela dapur langsung mendapatkan sinar matahari pagi tanpa terhalang apapun, karena memang jendela itu mengarah ke arah barat. Yang selama ini menjadi tempat matahari terbenam tapi saat ini telah berganti posisi terbit. Matahari memenuhi Titah Tuhannya, mengubah posisi terbit dari arah timur ke barat. 

"Laa ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadz dzalimin". Tiada Tuhan selain Engkau, mahasuci Engkau, sesungguhnya kami telah mendzalimi diri kami.

Oleh: Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur

Baca bagian 9 klik disini

Selasa, 29 Oktober 2019

Kegelapan Akan Berakhir Setelah Malam Ketiga: End Of Universe

Bagian 9

Map plastik berwarna kuning itu kuserahkan ke Ibu, ada rasa penasaran ingin membukanya namun aku memilih untuk patuh kepada perintah Ibu. Senyuman penuh arti tersinggung dibibir Ibu kala menerima map dari tanganku. 

"Tina tolong liat gorengan ikan diatas kompor, ntar gosong" kudengar suara Ibu setelah mengambil map dariku dan berlalu menuju ruang tamu. 

Aku menyusul Tina ke dapur, barangkali ada aktivitasnya sore ini yang dapat kubantu. Ibu ada bersama kakek di ruang tamu sepertinya sedang membahas isi map yang kuberikan tadi. 

"Tin, Ibu sejak aku datang kesini kayaknya menyembunyikan sesuatu deh". Kataku ketika tiba didapur. 

"Perasaan kamu aja kali Mut". Balas Tina. 

"Gak, kayaknya ada hubungannya dengan map yang kubawa". Sambungku.

"Map apa sih? ". Tanyanya. 

"Kemarin sebelum kesini ada map dari rumah yang mama suruh bawa kesini". Jawabku. 

"kamu gak liat aja sekalian waktu bawa, biar gak penasaran". Lanjut Tina. 

"Gak diizinin sama mama." Kataku cemberut. 

"Ya udah berarti kamu belum harus tahu dong.. "Sanggah Tina. 

"Mut, kamu cuci piring kotor ya.. " Lanjutnya sambil tangan sibuk membolak balik tumisan sayur di wajan. 

" Hu'uummm..." Kubalas dengan wajah masih cemberut. 

Sekilas kulihat keluar, suasana gelap dan dingin masih menyelimuti sekitar. Kuingat kemarin Tina mengeluhkan tanaman mawar kesayangannya dibeberapa pot depan rumah sudah mati karena defisiensi cahaya matahari. 

Sedang asyik mencuci piring, kudengar suara Kakek memanggil.Aku melangkah keruang tamu. Disana ibu menyuruhku duduk disampingnya sambil menyerahkan selembar kertas yang ditempeli foto close up. 

"Apa ini maa? "Tanyaku 

Ibu hanya tersenyum. 

"Ada yang pengen mengenalmu lebih jauh, itu biodata sama fotonya" Kakek menjawab pertanyaanku untuk Ibu. 

Aku hanya diam, dan memandangi beberapa lembaran kertas yang terjepit rapi. Masih bingung dengan hal ini, mungkin Ibu menangkap kebingunganku dan berkata:

"Udah, kamu baca aja dulu, nanti kalo mau lanjut kasih tahu mama ya.. "

Aku mengangguk lalu berjalan ke kamar untuk menyimpan berkas tersebut. Tina yang melihatku bingung, meledekku dengan senyuman penuh arti. 

Sebenarnya aku sudah tahu tujuan dari pemberian biodata itu padaku, tentunya untuk menjodohkanku dengan orang di dalam biodata itu. Tapi aku bingung karena dalam kondisi alam saat ini justru aku khawatir dengan kelanjutan hubungan kami. Aku bahkan tidak lagi memikirkan menikah saat ini. 

Kadang, Cinta datang menyapa disaat semua tentangnya hilang dari pikiran. Dibenakku "apa hari esok masih sama dengan hari sebelum kegelapan panjang ini? "

Sementara malam nanti adalah malam ketiga sejak hilangnya matahari. Jika merujuk pada literatur Islam yang kubaca, kegelapan ini akan berakhir setelah malam ketiga. Mengkhawatirkan hal ini, aku bahkan sudah minta izin untuk tidak kekantor hari senin besok. 

Oleh: Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur

Baca bagian 8 klik disini

Senin, 28 Oktober 2019

Kebangkitan Pemuda Kunci Sukses Bangsa Ini

Catatan Sebuah Momentum

Disebuah bangunan yang bergaya Hindia Belanda, didaerah yang dikenal dengan nama Batavia berkumpullah para pemuda dari berbagai daerah di Nusantara selama dua hari, dimulai dari tanggal 27 sampai dengan 28 Oktober 1928,mereka menyebutnya kongres pemuda.Namun ini bukanlah kongres yang pertama kali diadakan, karena para pemuda pernah berkumpul untuk hal yang sama pada dua tahun sebelumnya tepatnya 30 April - 2 Mei 1926. 

Terkumpul membentuk suatu pergerakan, terkumpul menyuarakan satu visi menegaskan cita-cita akan adanya tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa Indonesia. 
Hasil kongres ini lalu disebut Sumpah pemuda:

"Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia. Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia ". 

Tahun-tahun berlalu kini sejarah penting itu tiap tahun diperingati dan bahkan diadakan selebrasi, semoga bukan hanya ceremonial belaka atau sekedar ucapan selamat saja. Berharap ruh perjuangan yang waktu itu digaungkan para pendahulu tidak hanya tinggal sebagai catatan sejarah. 

Jika berkenan, ingin rasanya kejadian sejarah itu terulang kembali dalam pusaran waktu yang sama agar dapat diambil kembali semangat membara para pembuat sejarah itu. Biarkan generasi mencontoh, meresapi makna sumpah itu agar memberikan kekuatan jiwa dan raga untuk meneruskan perjuangan mereka para pendahulu.

Berharap tidak ada lagi pemuda apatis terhadap nasib bangsa, tidak ada lagi generasi yang sepanjang waktunya hanya dihabiskan berselancar dengan lempengan benda yang dinamakan gadget demi kesenangan mata. 

Berharap tidak ada lagi pemuda anarkis karena membela suatu kepentingan kelompok dengan pemikiran yang menggelapkan mata. 

Berharap tumbuh generasi muda yang berdedikasi tinggi untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa dimata dunia, dan memiliki kesadaran bahwa kemajuan bumi pertiwi berada dipundaknya dimasa depan. 

Karena waktu terus berputar, sementara generasi tua memiliki batas waktu produktifnya maka pemuda berkarakter dibutuhkan disini dibangsa ini. 

Bukankah Bapak Proklamator kita Ir. Soekarno pernah berkata " Berikan aku 10 pemuda maka akan ku guncangkan dunia".

Siapapun yang merasa diri sebagai seorang pemuda dibangsa ini maka tanggung jawab itu jatuh kepadanya. Agar para pemuda dibangsa ini mau melihat bahwa moment sumpah pemuda bukan hanya sebuah peristiwa sejarah yang diingat  saat datang tanggalnya, tapi sebuah cambukan semangat untuk terus berkarya bagi bangsa. 

Oleh: Mardha Umagapi

Ditulis di Subaim Halmahera Timur
Tulisan lawas

Minggu, 27 Oktober 2019

Repotnya Sang Istri Jadi Jalan Rejeki Bapak Penjual Tissue

Cerita Pendek

Suasana jalanan masih lenggang pagi itu, ketika kami berboncengan diatas motor menuju pelabuhan. Tak banyak kemacetan maupun antrian mengular di loket pembelian tiket, namun banyak kendaraan lain yang telah mengantri siap menaiki Kapal Ferry.

Ya, pagi ini kami akan kembali pulang ketempat bertugas diujung pulau setelah dua hari kemarin berjibaku dengan sesuatu kegiatan dipusat kota kabupaten. Ada rasa kangen dengan kota tempat dibesarkan itu, namun tuntutan tugas sebagai abdi negara menunggu untuk dilaksanakan.

"Ayang, kamu sama dedek duluan naik ke kapal ya. Biar aku aja yang ngantri di motor". Kataku memberi tawaran kepada istri yang duduk di jok motor belakang bersama buah hati kami.

"Iiih, gak mau ah. Maunya sama-sama kamu aja Beb". Balasnya sambil manyun tanda tidak setuju yang terlihat dari spionku. Bayi sembilan bulan dalam gendongannya Bergerak-gerak tak sabar ingin segera keluar dari gendongan.

"Okelah, asalkan Ayang gak kelelahan nunggu dan dedek juga gak nangis pengen segera turun". Aku mengalah, jika dia bersikeras ikut mengantri denganku. Toh dia juga yang rasa kelelahannya.

Lima belas menit berlalu dan bayi dalam gendongannya sudah mulai tak nyaman. Rengekan-rengekan tanda bosan mulai terdengar. Dan istriku sibuk membujuk agar anak kami tenang. Kulihat ia juga mulai merasa gerah lama diatas motor dengan gendongan depan dan tas sampingnya. Aku memilih diam saja, kupikir jika menawarkan akan sama jawabannya.

"Beb, kayaknya aku duluan aja yah naik ke kapal. Biar bisa baring-baring diranjang kapal dengan si dedek." Akhirnya ia menyerah.

Ia turun dari boncengan motor dan melangkah menjauh menuju pintu masuk kapal. Gamis dan jilbab lebarnya melambai-lambai ditiup angin, menambah pesonanya di netraku. Wanitaku dengan segala kerempongannya dan keribetan perasaannya, ia tetap menjadi juara dihatiku.

***

Setelah melewati antrian yang lumayan memakan waktu lebih setengah jam, aku akhirnya berhasil naik ke Kapal Ferry. Kulangkahkan kaki dengan tentengan tas dikedua tangan berjalan mencari letak kedua orang yang tersayang. Tak butuh waktu lama, kutemukan mereka diatas ranjang Ferry sedang rebahan diantara penumpang lainnya. Si dedek tengah asyik bermain dengan ratlenya dan tak rewel lagi, sementara Sang Ibu berbaring disisi sambil mengawasi.

"Gimana Yang, capek ?" Tanyaku.

"Hu'uh." Jawabnya singkat.

"Pak, Bu, tissue ?" Seorang bapak usia lanjut menawarkan dagangan ditangannya yang berisi tissue dan barang-barang lainnya.

Kulirik Istri, berharap ia mau membeli satu. Karena jujur aku kasihan pada bapak itu. Tatapanku dijawab dengan gelengannya.

"Belikan satu aja Yang". Pintaku

"Kita masih punya tissue Beb, tuh di tas masih banyak isinya juga." Tolaknya tanpa melihatku karena sedang memperbaiki posisi si dedek yang sedang berusaha duduk.

Akhirnya aku menoleh ke arah pak tua dan menyampaikan maksud penolakan dengan suara selembut mungkin.

"Maaf Pak, belum." Jawabku. Sang bapak melangkah gontai dengan wajah lesu, mungkin harapan untuk mendapatkan uang dari kami pupus.

"Kasihan juga, Si Bapak diusia tua itu masih harus berjualan diatas Ferry yang menyebrang kesana kemari. Apa ia tidak kecapean? Coba kalo tadi kita beli satu aja, pasti dia akan senang". Imbuhku.

"Iya Yang maunya sih gitu, tapikan kita masih punya tissue banyak didalam. Kemarin kan Beb baru aja belinya kan?". Sanggah istriku tak mau kalah.

Tak ingin membuatnya kesal, aku diam saja. Ku ambil sebotol air mineral ditas dan membuka segel serta tutup botolnya untuk minum. Belum sempat bibirku menyentuh botol, tangannya telah menarik botol ke mulutnya dan meminum. Dan sukses membuat bajuku basah terkena air yang tumpah dari botol.

"Ya Allah, koq gitu sih ? Aku kan haus Yang". Aku sedikit kesal.

"Maaf Beb, tapi aku juga haus dari tadi belum sempat minum apalagi habis ngASIhi dedek." Balasnya memelas Sambil menyodorkan tissue.

"Wanita ... wanita ... Ada-ada saja tingkahnya. Coba saja kalau tadi dia bilang sebelum aku minum, kan gak begini jadinya." Batinku sambil mengelap tumpahan air di baju dengan tissue.

Belum puas diteguknya air dari botol, bayi kami menangis minta gendong. Ia meletakkan botol, meraih bayi lucu itu dan menenangkannya dalam pelukan. Kemudian tangannya menggapai botol dan hendak melanjutkan minum.

Namun nasib malang tak dapat ditolak, botol tak berpenutup itu oleng terkena sentuhan kaki Si Dedek. Segera kutangkap namun terlambat, botol roboh ke ranjang dan menumpahkan isinya. Air bergerak meluncur kesemua sisi ranjang, untungnya lapisan atas ranjang ditutupi dengan karpet kedap air sehingga air tak merembes.

Tissue yang kami punya pun habis dipakai untuk mengelap basahan air di atas ranjang. Aku langsung teringat bapak tua penjual tissue tadi.

"Yang, kasih duit lima belas ribu dong." Pintaku.

"Untuk apa?"

"Buat beli tissue. Itu sudah habis, nanti gak ada malah ribet."

Disodorkan uang seharga tissue, akupun bergerak mencari bapak penjual. Berharap bisa menemukannya. Kubayangkan sumringah wajahnya melayani pembelian dariku.

Dalam hati aku membenarkan kata-kata bahwa rejeki sudah diatur dan tidak akan tertukar. Tinggal kita yang mau berusaha menjemputnya, seperti yang dilakukan bapak itu. Allah sudah mengatur tissue kami yang masih banyak itu, habis dalam seketika agar rejeki datang melalui kami menghampiri sang bapak penjual tissue.

Oleh:Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur

Semua Iman dan Amalan Yang Dilakukan Setelah Matahari Terbit Dari Barat Tidak Akan Diterima

Bagian 8

Memikirkan obrolan keluargaku di halaman belakang tadi, aku lebih banyak diam menunggu ada yang membuka suara lebih dahulu untuk membahasnya entah itu Kakek atau Ibuku.  Sebenarnya hati ini diliputi rasa penasaran, namun demi menghindari rasa malu dan gugup kupilih menenangkan diri dengan Tilawah setelah Ashar.

Kakek sedang berada di ruang televisi menonton berita sambil dipotongi kukunya oleh Tina yang sesekali melirik kearah televisi. Aku duduk di kursi disamping rak buku di ruang yang sama.

Untuk urusan buku kakek tidak tanggung-tanggung karena suka membaca, kakek mengoleksi buku bacaan yang semuanya dikumpulkan di rak buku di ruang televisi sekaligus ruang keluarga ini. Ada tiga rak penuh berisi buku yang posisinya mengambil tempat sebagian ruangan ini.

Sebenarnya sudah beberapa orang yang berkunjung ke rumah Kakek menyarankan untuk membuat ruang khusus untuk buku-buku ini. Namun belum terlaksana mungkin terkendala luas tanah.

Ada sebuah buku di salah satu rak bagian atas yang menarik perhatianku, kulirik sekilas nama penulis yang tertulis disisi buku bersamaan dengan judulnya "Dzikir Akhir Zaman : Abu Fathiah Al Adnani" langsung Kutarik dari rak dan segera membacanya.

Buku tebal ini berisi berbagai macam informasi terkait akhir zaman, termasuk kondisi gelap sebelum matahari terbit dari barat. Dimana disebutkan dalam buku ini bahwa

" Akan datang suatu masa dimana bumi akan menjadi gelap selama seperti tiga malam hitungan normal, lalu setelah itu matahari akan terbit dari barat. Dan ketika masa itu tiba tidak akan lagi terbuka pintu taubat. Semua iman dan amalan yang dilakukan setelah matahari terbit dari barat tidak akan diterima selama-lamanya. "

Keterkaitan buku ini yang begitu jelas dengan kondisi bumi sekarang, membuat ku terlarut menjelajahi kata demi kata dan kalimat demi kalimat di dalamnya. Hingga tanpa sadar, sebuah tepukan mendarat di bahuku yang sukses membuat aku terkaget.

"Mut, ngapain sih? Mama panggil dari tadi gak dengar." Tanya Ibu dengan nada sedikit kesal.

Aku merasa bersalah tak mendengar panggilan Ibu.

"Maaf Maa, ini lagi serius baca buku". Jawabku dengan memasang tampang memohon maaf.

"Pesanan mama saban hari kamu letakkan dimana?" Tanyanya lagi.

"Oh itu, nanti Mut ambilkan". Jawabku dan langsung beranjak mengambilkannya untuk Ibu.

"Jangan dibuka, langsung dibawa kesini". Sayup-sayup kudengar suaranya dari belakang.

"Map itu isinya berkas apa sih..? Mama kayaknya menyembunyikan isi map dari ku". Aku bertanya dalam hati.

Beberapa hari lalu saat hendak kesini Ibu memang berpesan agar aku mengambil map di laci kamarnya untuk dibawa serta, akupun tak sempat melihat isinya.

"Ah sudahlah, apapun isinya, nanti juga mama bakalan bilang kalo aku merajuk gak dikasih tahu". Senyumku mengembang mengingat betapa sering aku merajuk pada Ibu, Sang Orangtuaku satu-satunya.

Oleh: Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur

Baca bagian 7 klik disini

Jumat, 25 Oktober 2019

Tanpa Matahari Kehidupan Hancur Tapi Tanpa Iman Akan Lebih Hancur Lagi: End Of Universe

Bagian 7

"Halo! "Seru ku setelah menggeser layar gawai.

"Halo, assalamualaikum." Jawab suara diseberang sana.

"Mut ini aku, Laila."Lanjutnya lagi.

"Oh Laila, kamu pakai nomor siapa?" Tanyaku.

"Nomor Ibuku, handphoneku mati sejak kemarin. Aku tidak menemukan sumber listrik untuk men-charge-nya." Akunya.

Di kampung Laila, memang belum tersentuh listrik, semua aktivitas yang membutuhkan listrik harus menggunakan mesin diesel sebagai sumbernya. Dengan kondisi Matahari yang belum muncul hingga kini aku tak bisa membayangkan seperti apa gelapnya kampung  Laila di siang begini.

Kutanyakan kabar dan apa yang ia butuhkan untuk dibantu olehku.

"Mut, tolong izinin aku lagi dong di kantor. Ibuku sakit, ini sementara lagi dirawat di PKM rencananya nanti mau rujuk ke kecamatan. " pintanya.

"Sakit apa La?. Bukannya cuti mu masih beberapa hari lagi?" aku menyanggah.

"Ini Mut, asma ibuku kambuh gak tahan dingin soalnya, cuaca beberapa hari ini yang semakin dingin pemicunya. "

"Masih ada beberapa hari di waktu cutiku namun untuk berjaga-jaga kalo perawatan ibuku membutuhkan waktu lebih, setidaknya aku sudah dapat izin lagi". Tambahnya.

"okelah gini aja, nanti kalau waktu cutimu habis dan kamu belum masuk, nanti aku bantu izinin deh. Gimana La? " Saranku.

" Baiklah kalo gitu, yang terbaik aja menurutmu." Laila menurut.

"Ya, sudah kamu tenang disana. Gak usah pikirin urusan disini, fokus jaga ibu aja baik-baik. " sambungku.

" Oke assalamualaikum!" Tutup Laila.

"Waalaikumussalam". Jawab ku dibarengi dengan suara "klik" tanda sambungan terputus.

Kulirik jam weker di atas nakas, limabelas menit lagi masuk waktu ashar. Rupanya aku tertidur lumayan lama setelah dhuhur. Telepon dari Laila tadi membangunkanku.

Kusibak Selimut tebal yang menutupi diri lalu tangan meraih jilbab hijau lebar berbahan kaos di ujung tempat tidur, mengenakannya kemudian melangkah keluar kamar.

Netra menyapu seluruh ruangan, namun tak kutemukan sosok Ibu, Kakek dan Tina.
"Dimanakah mereka berada, seharusnya mereka tidak kemana-mana. Bukankah ini sudah hampir waktu ashar?" Aku membatin.

Kaki melangkah menjelajahi semua ruangan di rumah, kulihat kamar kakek tampak gelap karena lampu tak dinyalakan. Kuputuskan untuk berjalan kehalaman belakang, karena terlihat seperti bayang nyala api dari posisiku didalam rumah.

Benar saja, kaki terhenti saat tiba disana. Keluarga yang terdiri dari tiga generasi itu sedang berkumpul disana mengelilingi tumpukan kayu yang terbakar dan menyala.

"Mut, ayo sini gabung". Kata Kakek mengajakku.

Ibu dan Tina melirikku dengan senyum lalu Tina menyodorkan bangku plastik kecil untuk ku duduki.

"Udara semakin dingin, api unggun kecil ini membantu menghangatkan tubuh". Kata Kakek.

"Kalo Mau, buat sendiri tehnya didalam". Ibu menambahkan sambil menikmati cangkirnya.

"Nanti aja, Sudah mau Ashar". Kataku

"Tadi Mut liat, kayaknya pada serius ngomongin sesuatu. Apa sih? "Tanyaku.

" Ini lagi ngomongin lamaran buat kamu" Tina menimpali sambil mengedipkan sebelah mata.

"Masa sih? ".

Jantungku langsung berdetak kencang, kurasakan pipiku mungkin saja memerah dan terlihat oleh para keluargaku ini. Aku malu.

Melihat hal itu, Ibu dan Kakek langsung tertawa  karena aku salah tingkah. Ibu mendorong Kakek dengan kursi rodanya melangkah masuk. Tina berdiri sambil membawa nampan berisi cangkir kosong, sambil berlalu didepan.

"Ayo masuk sudah waktu Ashar, jangan bengong aja.. Ntar jodohnya lewat". Katanya meledekku dengan tawa kecil.

Berbicara tentang lamaran, kuingat empat tahun lalu saat menyelesaikan pendidikan Strata Satu nya, Tina langsung dilamar oleh teman seorganisasinya di kampus dan langsung dinikahkan oleh Kakek dan orang tuanya.

Tentu saja itu menjadi hal yang membahagiakan untuk Tina, namun Tiga tahun lalu tepat diusia pernikahannya yang ke satu tahun suaminya meninggal karena kecelakaan tunggal saat pulang kerja. Hingga saat ini Tina masih belum membuka pintu hatinya untuk siapapun. Sedangkan aku, tidak ada rekam jejak kedekatan dengan lelaki manapun selama baligh hingga kini.

"Lamaran untukku, apa iya? Dikondisi alam yang tidak memungkinkan ini? "Tanyaku dalam hati.

Gelap memang masih menyelimuti bumi, segelap gambaran jodoh masa depanku.

Oleh: Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur
Baca bagian 6 klik disini

Kamis, 24 Oktober 2019

Ciptaan Yang Bertafakur Pada Penciptanya: End Of Universe

Bagian 6

Kami menyambut pagi dengan masing-masing segelas teh hangat dan sepiring nasi goreng. Hari ini adalah hari minggu, memasuki hari ketiga dan matahari belum juga kembali dari perintah menghadap RabbNya. Suasana gelap masih seperti biasa dengan suhu udara yang menggigit.

Setelah sarapan Tina mengumpulkan pakaian kotor  ke keranjang hendak mencucinya. Aku ikut membantu aktivitasnya dengan mengisi air di mesin cuci dua tabung yang terlihat sudah dimakan usia. Aktivitas mencuci memang tidak bisa langsung dijemur dengan cahaya matahari, sehingga hanya mengandalkan tabung pengering. 

Sambil membantu Tina, Sayup-sayup kudengar siaran berita di televisi yang ditonton Kakek di ruang keluarga.

“Pemirsa, hilangnya matahari dari peredaran selama hampir tiga hari ini mengakibatkan sejumlah tempat dipermukaaan bumi mulai mengalami pembekuan. Kehilangan cahaya matahari juga menyebabkan tumbuhan mulai mati, disepanjang taman kota juga terlihat banyak daun berguguran akibat hilangnya pasokan cahaya matahari. Diperkirakan jika keadaan ini terus berlangsung maka kemungkinan manusia akan kekurangan banyak bahan makanan dari sumber tumbuh-tumbuhan.” Kata-kata penyiar berita terdengar ke telinga kami yang sedang mencuci dibelakang.

Demi mendengar berita itu, kulangkahkan kaki ke ruangan dimana kakek sedang menonton televisi ditemani Ibu yang sedang duduk dilantai sambil mengiris sayur. 

“Bagaimana jika matahari hilangnya lama ya..? bagaimana nasib kita dibumi ?” Kataku sambil berdiri disamping kakek yang sedang duduk bersandar di kursi santainya.

“Kita banyak-banyak berdo’a saja semoga matahari segera terbit lagi”. Ibu membalas dengan netra masih tertuju pada pisau dan sayuran ditangannya.

“Jika berpatokan pada hadist Rasulullah, maka Matahari tidak akan lama menghilang". Kata Kakek. 

Karena dalam salah satu sabda Rasulullah disebutkan : “Bumi ini akan mengalami malam yang panjang sekali seperti kalian menghitung tiga malam kalian”.” Kakek menjelaskan pengetahuannya.

Jadi kita tunggu saja dengan kehendak Allah, Hadist Rasulullah ini akan terbukti kebenarannya besok atau lusa.” Tambahnya lagi.

Mendengar penjelasan dari kakek, netra ini menatap keluar jendela ruang tengah dan pandangan menyapu halaman yang kini tak lagi hijau padahal sebelumnya penuh dengan tumbuhan hijau dan bunga-bunga. Berharap matahari segera muncul dan kembali menerangi bumi, meski konsekuensi terbitnya kali ini menjadi penutup pintu taubat.

Oleh: Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur

Baca bagian 6 klik disini

Rabu, 23 Oktober 2019

Di Hari Kiamat Kaum Mukminin Berjalan Berpedoman Pada Cahaya Iman Mereka:End Of Universe

Bagian 5

"Mut, tolong bantu mama, dorong kursi roda Kakek ke mobil. Mama mau masuk dulu ambil beberapa barang penting yang tersisa didalam". Perintah ibu, sambil berlari kembali masuk kedalam rumah.

Aku ikuti saja perintahnya, kudorong kursi itu hingga sampai ke depan pintu mobil yang diparkir diluar pagar. Tina kemudian membantu kakek masuk kedalam mobil, kursi roda kulipat dan menyimpannya dibagasi belakang. Netraku menatap pintu rumah berharap ibu segera muncul dari sana, namun sudah hampir lima menit ibu belum juga muncul.

Udara semakin dingin bahkan sebagian penyangga teras yang terbuat dari kayu telah mengkristal dibaluti es, tanaman yang telah lama layu dan sebagian mati pun tak luput dari balutan kristal es.

Kurapatkan jaket tebal dan menarik ujung sarung tangan agar menutupi lebih keatas pergelangan tangan. Netra mengarah ke arloji yang melingkar, sudah pukul duabelas lebih tujuh menit. Ini adalah waktu makan siang, namun karena suasana gelap seakan malam membuat perut tak terlalu berasa lapar.

"Panggil mamamu, kita harus segera berangkat sebelum jalanan semakin sulit dilewati karena licin tertutup es". Kakek menyuruhku.

Kupanggil Ibu dari depan pagar namun tak ada sahutan, baru hendak kaki ini melangkah masuk kedalam pagar terdengar bunyi "krekkk" dan tiba-tiba. "brughhh... " rumah runtuh bak tidak memiliki tiang penyangga.

Kami semua kaget,
"Mamaaaaa.... " Aku berteriak kencang, dan melangkah maju.

Tina melompat keluar mobil dan mencoba menarik diriku untuk menjauh dari rumah.

Aku meraung sekuat tenaga, berteriak memanggil ibuku tapi lidah seakan kelu. Kaki terasa lemas keringat dingin mengalir dari pelipis. Kurasakan tangan dingin menyentuh wajahku.

"Mut, Mutmainnah..."

Kubuka mata dan melihat sosok dengan tangan dingin yang menyentuhku. Ternyata Ibu, aku langsung memeluknya dan dalam keheranan Ibu pun balas memelukku.

"Kamu kenapa sih Mut? Bangun-bangun keringetan dingin langsung peluk mama. " tanya ibu padaku.

"Gak apa-apa maa, Mut cuma mimpi". Jawab ku.

"Ayo siap-siap, mau sholat tahajjud sama-sama". Lanjutnya lagi.

Aku bergegas membersihkan diri dan Wudhu, kami pun melaksanakan shalat tahajjud, kakek mengimami dengan tetap duduk dikursi. Di usianya yang sudah tua dan sakit-sakitan, Ia memang tidak mampu sholat sambil berdiri. Setelah sholat kakek membaca sebuah do'a dengan suara yang terdengar oleh kami.

"Rabbanaa atmimlanaa nuuranaa waghfirlanaa. Innaka 'alaa kulli syai'n qadiir"

Aku ingat lafadz do'a itu, itu adalah ayat Al Qur'an yang pernah disampaikan oleh guru dalam lingkaranku. Terjemahannya yang kuingat:
“Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (At-Tahrîm :8)

"Pada hari Kiamat, kaum Mukminin berjalan berpedoman pada cahaya iman mereka. Dan mereka takut kalau cahaya mereka padam seperti cahaya kaum munafikin. Merekapun memohon agar Allâh Azza wa Jalla menyempurnakan cahaya mereka. Allâh pun mengabulkan doa mereka, dan menghantarkan mereka menuju Surga. Ini di antara pengaruh taubat nasuha seperti disebutkan dalam permulaan ayat di atas". Begitu, penjelasan dari guru yang kuingat.

Hatiku sedikit banyak telah merasa lega, pengaruh mimpi yang sejak tadi menghantuiku mulai perlahan hilang. Kuraih Mushaf Qur'an disamping sajadah dan mulai membaca lembar ke lembar.

"Jadikanlah Sabar dan Shalat sebagai penolong". Hingga penggalan kalimat mulia ini menyadarkanku, telah ku buktikan Maha BenarNya Allah.

Oleh: Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur

Baca bagian 4 klik disini

Allah Anugerahkan Keluarga Sebagai Tempat Pulang Ternyaman: End Of Universe

Bagian 4

Sebuah keberuntungan bagiku karena berada ditengah-tengah keluarga disaat seperti ini. Bagaimana tidak, percakapan antara kami siang tadi tentang kondisi alam dalam gelap panjang saat ini menyisakan rasa cemas akan kesiapan menyongsong hari esok. 

Malam ini, setelah makan malam dan shalat Isya berjama'ah dengan di imami oleh kakek, masing-masing kami bersiap untuk menuju peraduan. Tak lupa kakek berpesan agar di sepertiga malam nanti kami saling membangunkan untuk tahajjud. Saat ini hanya jarum jamlah yang menjadi patokan, siang dan malam tiada bedanya mengingat matahari masih berada dalam tafakkur panjangnya dibawah Arsy. 

Kakek ku memang adalah lelaki diusia yang sudah lanjut, namun semangat ibadahnya tak pernah kendor. Bahkan sebelum sakit tua menggerogotinya ia adalah Imam di surau lingkungan tempat tinggalnya saat ini. Jika berbicara tentang ilmu agama, ia sedikit banyak memilikinya karena dulu diusia muda sempat merantau menjadi santri di negerinya para santri. 

"Tidur jangan larut, malam ini kita bangun shalat minta petunjuk dan kekuatan kepada Allah untuk menghadapi kondisi alam saat ini agar selalu dalam penjagaan-Nya." Begitu kata Kakek sebelum tidur tadi. 

Diperaduanku, netra ini menjadi sulit terpejam. Kulihat Ibu dan Tina disampingku sudah terlelap memeluk guling masing-masing, dan mungkin sudah dibuai mimpi. Sedangkan aku, pikiranku melayang kemana-mana. 

Teringat masa-masa saat ayah masih bersama kami, disaat yang mengkhawatirkan seperti ini tentu adanya ayah dan juga kakek akan menjadi tambahan kekuatan bagi kami untuk tegar dalam kondisi apapun. Namun sudah menjadi ketentuan-Nya, ayah dipanggil menghadap dua tahun lalu saat aku baru saja menyelesaikan pendidikan Strata satuku. 

Pikiranku berkelana ke kondisi pagi tadi yang aku lihat. Di sepanjang taman yang ada di sekitar jalan, tumbuh-tumbuhan tidak lagi terlihat hijau. Daun-Daun terlihat menguning seperti layu. Bahkan ada sebagian pohon yang sudah berguguran daunnya pertanda kekurangan cahaya matahari.

Suhu udara malam ini pun dinginnya sudah sangat dingin, dibanding jam sepuluh pagi tadi, saat mengendarai motor dijalanan. Untuk tidur kami sampai menggunakan dua lapis selimut. 

Hilangnya cahaya matahari memang telah menurunkan suhu dipermukaan bumi. Para saintis memperkirakan, jika seminggu matahari masih belum muncul juga maka suhu permukaan bumi secara keseluruhan akan menjadi dibawah duabelas derajat celcius. 

Orang-orang didaerah yang biasa mendapatkan musim, mungkin menjadi hal yang biasa. Namun bagaimana dengan kita di Indonesia? 

"Ah, sudahlah aku harus segera tidur. " Pikirku. 

Semakin banyak memikirkan tentang kejadian beberapa hari ini, semakin sulit bagiku untuk memejamkan mata. 

Oleh: Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur

Baca bagian 3 klik disini

Senin, 21 Oktober 2019

Akhir Zaman Segala Macam Maksiat Berlomba Menunjukkan Eksistensi: End Of Universe

Bagian 3

Jika berpatokan pada putaran jarum jam, sudah dua hari lamanya sejak matahari tidak lagi menampakkan diri di langit. Seiring dengan hilangnya matahari, suhu dipermukaan bumi terasa semakin dingin dari waktu ke waktu.

Meskipun gencar, media memberitakan kejadian ini dari versi telaah saintis, namun sebagian orang mulai menyadari bahwa latar belakang hilangnya matahari dari peredaran adalah awal dari akan munculnya salah satu tanda besar kiamat yang tak dapat di pungkiri.

Hari ini adalah hari Sabtu, kuputuskan menengok ibu ke rumah kakek karena kantor tempatku bekerja hanya beraktivitas lima hari dalam sepekan yaitu senin hingga jum'at maka sabtu dan minggu adalah waktu libur kerja untuk kami. Sedari subuh semua persiapan telah kulakukan, sepeda motor ku pacu menuju jalanan yang mulai ramai.

Satu hal yang membuatku miris, meski suasana alam yang menurutku dan sebagian orang termasuk hal mengkhawatirkan karena sudah jelas akan dekatnya hari akhir, tapi ada saja orang-orang yang tak peduli dengan kondisi ini bahkan menganggap semacam fenomena alam biasa yang akan segera berlalu tanpa masalah.

Semalam, saat pulang dari membeli makan malam diwarung dekat rumah karena tidak sempat masak, tampak olehku dua orang muda mudi yang duduk berdampingan di taman samping warung. Kutebak mereka sedang pacaran, karena jelas terlihat lengan pemuda melingkar manis dibahu sang pemudi yang saat itu masih mengenakan rok SMA meski atasannya ditutupi jaket.

"Sudah malam begini, apa tidak dicariin sama orang tua? Ataukah saat ini malam dan siang sama saja bagi mereka sehingga tidak ada masalah? " Pikirku.

Ada rasa heran didalam hati, apakah kejadian ini tidak cukup membuat mereka takut untuk bermaksiat? Tanda yang muncul saat ini merupakan peringatan bagi orang yang berpikir dan mau menaruh perhatian tentang kondisi akhir zaman.

Sepeda motorku melaju sudah setengah perjalanan, aku sengaja mengendarai tidak terlalu laju agar bisa memperhatikan kondisi sekitar. Tiba-tiba gawaiku berdering tanda panggilan masuk, aku hentikan laju sepeda motor dan menepi untuk menjawab panggilan telepon. Dilayar tertera nama "My Mom" segera kuterima.

"Assalamualaikum Ma,? "

" Waalaikumussalam, Mut kamu sudah sampai mana? Perjalanannya kok lama sekali. Bukannya kamu berangkat sejak awal pagi?" Pertanyaan beruntun langsung dilemparkan padaku.

"Ini masih dijalan Ma.. Sudah dekat, tadi Mut jalannya agak pelan soalnya dingin sekali". Jawab ku.

"Ya sudah, hati-hati, kamu bawa pesanan mama kan? " Tanyanya lagi.

"Iya ma, ini sudah ada didalam tas."

" Oke kalo begitu, Assalamualaikum". Mama mengakhiri.

"Waalaikumussalam". Jawabku.

Aku melanjutkan perjalanan yang tinggal separuh lagi. Ku lirik arloji dipergelangan tangan kiriku, sudah pukul sepuluh lebih lima belas menit. Waktu sudah merangkak siang sebenarnya, namun karena kondisi yang serba gelap semua lampu dirumah-rumah maupun dijalan tetap dinyalakan sebagaimana malam.

Tiba dirumah kakek, aku disambut sepupuku Tina didepan pintu. Kami salaman dan berpelukan gembira karena jarang ketemu. Ibu muncul dari belakang segera kusalami dan mengecup punggung tangannya,

"Kakek mana? "Tanyaku

" Lagi dihalaman belakang" Jawab ibu.

"Ayo kebelakang, Kakek tadi menanyakan apa kamu sudah sampai". Ajak Tina.

Tina adalah anak pamanku, Ia lebih tua dua tahun dariku, namun  kami akrab seperti sebaya bahkan tak ada panggilan spesial "Kak" maupun "Dek" diantara kami. Ia tinggal bersama kakek sejak melanjutkan sekolah SMA dikota ini.

Kutemui kakek dihalaman belakang, duduk bercengkrama bersamanya serta Ibu dan Tina. Dalam percakapannya kakek bercerita tentang pengetahuannya terkait kejadian saat ini.

"Belum munculnya matahari saat ini sebenarnya sudah dijelaskan dalam Hadist Rasulullah". Kata Kakek.

"Gimana hadistnya Kek? "Tanyaku.
Sebenarnya hadist tentang peristiwa ini sudah sering kudengar dalam kajian-kajian tentang akhir zaman yang ku hadiri, namun aku mau mendengarnya dari kakek.

" Tidak akan terjadi kiamat sehingga matahari terbit dari sebelah barat, jika ia telah terbit lalu manusia menyaksikan, maka semua orang akan beriman, ketika itu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau dia belum mengusahakan kebaikan dalam masa imannya".

"Begitu bunyi hadistnya yang kakek ingat, kalo kakek tidak salah hadist ini diriwayatkan oleh Imam Muslim. " Kata Kakek.

Aku, Ibu dan Tina saling pandang dan ada rasa khawatir yang terpancar dari wajah kami. Apakah keimanan dan amalan-amalan kami selama ini cukup untuk menyongsong peristiwa besar ini?

Oleh: Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur

Baca bagian 2 klik disini

Sabtu, 19 Oktober 2019

Semua Benda Langit Tunduk Atas Titah-Nya: End Of Universe

Kisah Berhikmah

Bagian 2

Siang ini di kantor suasana masih tetap sama dengan awal pagi menginjakkan kaki disini, gelap bak malam hari. Semua orang terlihat larut dengan kerja masing-masing namun sebenarnya rasa khawatir terselip di benak setiap mereka.

Berita di televisi kantin siang ini memberitakan kejadian yang tak biasa tentang matahari yang belum juga muncul hingga siang ini. Kami para karyawan yang sedang menikmati makan siang pun tak pernah lepas memandang benda segi empat berukuran 21 Inci tersebut.

Begitu juga diriku dan Laila, kami memilih tempat duduk di pojokan kantin dan mulai menikmati makan siang tanpa suara dengan netra terpana kearah televisi.

Sang pembaca berita menyiarkan informasi tentang keterkaitan kejadian hari ini dengan adanya aktivitas pergeseran kutub bumi. Ibu penjaga kantin berdiri dengan remot di tangan. Jika ada jeda salah satu stasiun, ia akan pindahkan tayangan ke stasiun yang lain.

Di salah satu stasiun televisi swasta, disiarkan ceramah seorang Ustadz kondang yang menjelaskan terkait tanda Kiamat. Yaitu saat matahari dipanggil oleh Allah untuk menghadap kebawah Arsy yang lamanya seperti tiga malam. Aku dan Laila saling menatap, ada semacam rasa khawatir yang terpancar di netranya.

"Penjelasan Ustadz itu seperti materi yang pernah kita dapatkan di lingkaran kita sebelumnya, Mut". Katanya padaku.

"Ya aku rasa memang seperti itulah penjelasan yang cocok untuk kejadian yang terjadi hari". Balasku.

Aku menambahkan: "Meskipun kejadiannya secara ilmu sains adalah demikian, namun semua sudah ada penjelasannya dalam Islam. Intinya kita jadikan kejadian hari ini dengan semakin meningkatkan ketakwaan pada Allah".

Laila terdiam dan mata mulai berkaca-kaca.
"Kamu kenapa La?" Tanyaku kaget.

"Gak apa-apa, aku hanya teringat ibu dan adikku di kampung. Bagaimana keadaan mereka saat ini, apalagi ketika melihat peristiwa ini. " Katanya sambil menyeka air yang hampir merembes keluar dari mata.

Laila pernah bercerita bahwa dikampungnya jaringan seluler belum bisa dijangkau, sehingga untuk saling bersabar, orang-orang disana harus melakukan perjalanan ke daerah gunung untuk mendapatkan jaringan. Selama diterima bekerja dikota ini ia tidak bisa menelpon ibu, kecuali ditelepon  oleh orang di kampung yang menyampaikan salam dari keluarganya.

Demi melihat kesedihannya, ku sarankan agar ia mengambil cuti untuk pulang kampung melihat kondisi ibunya.
"Gimana kalo kamu ngambil cuti dulu barang seminggu, biar bisa menengok mereka dikampung".

"Makasih masukannya Mut, kalo kamu gak bilang mungkin aku gak kepikiran buat cuti. Lagian sudah lama aku belum cuti lagi". Katanya dengan mata berbinar senang.

Setelah menghadap atasan hari itu, akhirnya Laila diizinkan cuti untuk menengok ibu dan adiknya di kampung.
Sedangkan aku yang sebenarnya ingin cuti juga agar bisa menyusul ibu ke rumah kakek, tidak diizinkan atasan.

"Mutmainnah, kamu belum di izinkan cuti. Tolong bantu handle kerjaan Laila sampai dia kembali."

Aku hanya bisa mengangguk tanda setuju, yang ada dipikiranku, semoga kakek cepat pulih biar ibuku segera kembali.

Baca bagian 1 klik disini

Oleh: Mardha Umagapi
Tulisan lawas
Subaim Halmahera Timur, 27 April 2019

Jumat, 18 Oktober 2019

Ketika Matahari Menghadap Rabbnya: End Of Universe

Kisah Berhikmah

Bagian 1

Hari itu suasana masih tampak seperti malam hari, aku bangun dari tempat tidur berharap masih ada waktu untuk melaksanakan Qiyamul Lail. Ku tengok jam di gawai, ternyata waktu subuh telah dimulai lima menit yang lalu.

Aku bergegas turun dari ranjang lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu, sholat subuh kutunaikan. Lepas sholat aku menuju dapur, membersihkan apa-apa yang perlu dibersihkan dan memasak untuk sarapan.

Setelah meletakkan makanan untuk sarapan dimeja, ku lirik jam di dinding sebenarnya sudah pukul 06.30 WIT. Seharusnya matahari sudah memancarkan sinarnya. Namun diluar suasana masih terlihat gelap seperti saat bangun tadi.
"Ah, mungkin hari ini hujan akan turun dengan lebat". Pikirku.

Kusiapkan peralatan yang akan dibawa ke kantor, tak lupa menyelipkan jas hujan di bagasi motor. Setelah sarapan dan berganti pakaian aku keluar rumah untuk melihat-lihat kondisi diluar.

"Sepertinya ada yang tidak beres, cahaya matahari tidak keluar meskipun sedikit. Ini sudah pukul tujuh lebih, seharusnya ada secercah cahaya meski langit mendung dan akan ada hujan lebat sekalipun." Gumamku.

Tidak ingin terlambat kekantor, aku bergegas masuk kembali kedalam rumah dan mengambil tas yang telah Kusiapkan. Ku kunci pintu rumah dan melafalkan :
 " Bismillahi tawakkaltu alallah, laa hawla wa laa quwwata illa billah".
Do'a yang selalu kulafalkan saat hendak keluar rumah untuk bepergian, mengharap adanya penjagaan dan  perlindungan Allah dalam setiap langkah.

Tak lupa kukirim pesan kepada ibu, berpamitan untuk pergi kerja. Karena saat ini ibu sedang tidak di rumah, ia sudah seminggu ini menginap dirumah kakek di kampung sebelah.

Kami mendapat kabar kakek sakit minggu lalu, karena ibu adalah puteri satu-satunya maka ia yang memang selalu dipanggil jika kakek harus dirawat. Sedangkan paman ku dua orang tinggal didaerah yang berbeda.

Kurapatkan Jaket dan memasang erat helm yang menutupi kepala berjilbabku, sepeda motor pun dihidupkan dan melaju membelah jalan yang mulai ramai. Sepanjang jalan tak henti-hentinya mata ini memandangi kiri dan kanan jalan melihat kalau-kalau ada petunjuk tentang keanehan pagi ini, namun sia-sia tak ada petunjuk yang Kudapat dan hanya menyisakan tanda tanya.

Setibanya dikantor, banyak yang telah datang namun setiap dari mereka memasang tampang keheranan. Ku terka itu pasti karena suasana alam pagi ini yang tidak biasa.

"Mut, gimana tanggapanmu terkait kondisi pagi ini?" Laila bertanya sembari menghampiri meja kerjaku.

"Aku merasa ada yang aneh, sampai saat ini matahari juga belum muncul. Padahal hujan yang aku kira akan turun, gak turun-turun juga." Kataku.

Laila adalah sahabat dekat sekaligus rekan kerjaku. Dalam berpikir dan bertingkah laku kami berdua memang mirip. Sehingga tak heran sejak bertemu diawali kerja, kami pun bersahabat dekat hingga saat ini. Bahkan di pengajian rutinku tiap minggu, aku juga mengajaknya untuk ikut serta.

"Apa ini ada Hubungannya dengan kejadian-kejadian yang terjadi belasan tahun lalu ya..?" Sambung Laila.

"Mungkin saja La, bukankah pembahasannya juga sudah sering dibahas di lingkaran pengajian kita terkait kejadian di akhir zaman, dan kondisi yang pernah kita bahas itu seperti saat ini. " Jawabku.

Aku dan Laila melihat keluar jendela, ada rasa penasaran ingin melanjutkan bertukar cerita tentang pagi ini. Namun tumpukan pekerjaan telah menanti di meja masing-masing.


Oleh: Mardha Umagapi
Tulisan lawas
Subaim Halmahera Timur, 26 April 2019

Kamis, 17 Oktober 2019

Kelamnya Masa Lalu Dan Pahitnya Kehilangan Akan Allah Ganti Jadi Indah Jika bersabar

Kisah Berhikmah

Pertolongan Berujung PadaNya
Bagian 10


"Kak Mai, hari ini Mita mau ke makam Kak John". Wanita berparas Cantik itu bersiap-siap.

"Mita mau diantar Rahim trada?". (Mita mau diantar Rahim nggak?) Maimunah membalas ucapan adik iparnya.

"Boleh, emang Rahim gak ada kesibukan hari ini ?" Mita bertanya sembari melirik ponakannya. Yang dilirik balas tersenyum dan mengangguk.

Setelah melepas kepergian adik ipar dan anaknya Rahim didepan pintu, Maimunah berbalik arah melajukan kursi roda kearah kamar. Dilihatnya bungkusan kado yang belum sempat ia sentuh sejak diberikan kemarin, hadiah yang tak pernah luput dari adik iparnya itu, sejak kematian suaminya.

Ya, suaminya John meninggal bertepatan dengan hari lahirnya. Sehingga setiap hari lahir Maimunah, Mita selalu menyempatkan diri datang memberikan hadiah sekaligus mengunjungi makam kakaknya. Ia akui hadiah dari adik ipar satu-satunya itu selalu mampu mengurangi rasa sedih yang datang setiap tahun diwaktu yang sama.

***

"Mai, Abang pamit ya... Jaga kondisi, jangan terlalu capek beraktivitas." Lelaki berseragam tentara itu membungkuk memeluk tubuh Maimunah dan mencium keningnya.

"Iya Abang, nanti kalo sudah sampai kabari Mai e ... Jang lupa jaga makan Deng minum obat". Maimunah membalas ketika pelukan terlepas dengan wajah sendu. Hampir setahun hidup bersama John tak membuat dialek timurnya hilang.

Pernikahannya memasuki usia 9 bulan dan bayi di rahimnya memasuki trimester kedua. Sebuah anugerah yang luar biasa ia syukuri. Dengan kelamnya masa lalu dan pahitnya kehilangan, Allah mengganti dengan yang indah dimasa ini.

Kehidupan rumah tangganya dengan John mengalir indah hingga saat ini, namun ada tanggung jawab yang harus dilakukan dan tak bisa ditinggal olehnya dan oleh suaminya, yaitu tugas sebagai prajurit bangsa dan ia sebagai seorang istri prajurit harus mendukung penuh, bakti suaminya untuk negara tercinta.

Peristiwa pagi yang akan memberikan efek rindu berkepanjangan pada Maimunah. John harus memenuhi panggilan negara untuk memimpin pasukan ke daerah rusuh yang tak jauh dari tempat asal Maimunah. Kepergiannya memang belum pasti kapan akan kembali, namun Maimunah pasrah dalam do'a untuk keselamatan suaminya di tempat tugas.

Ia hanya berharap, ketika tiba saatnya ia melahirkan buah hati mereka. John diberi kesempatan untuk hadir membersamainya. Meski ia tahu harapan itu bisa saja tak terwujud, Maimunah optimis dan menjauhkan diri dari pikiran yang dapat membebaninya dan janin yang dikandung.

Bersambung.

Oleh: Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur

Baca Bagian 9 klik disini

Rabu, 16 Oktober 2019

Tidak Rugi Orang Yang Berserah Diri Pada-Nya, Kejutan Dari-Nya Akan Luar Biasa

Kisah Berhikmah

Pertolongan Berujung PadaNya
Bagian 9


Setelah kedatangan John untuk menemuinya dibutik selain berkunjung ke tempat Tantenya, Mimunah tahu satu hal bahwa lelaki itu sedang berusaha untuk memposisikan diri sesuai dengannya. Ada harapan masa depan tergambar di sana, di bola mata kebiruan itu ketika menatap Maimunah.

“Mai, kamu sudah tahu maksud kedatangan John tadi siang ?” Tanya Tante Jenny malam itu ketika Maimunah sedang duduk menulis laporan keungan bulanan butik dikamarnya.

“Belum tante”.  Jawab Maimunah singkat.

Tante Jenny sebenarnya bukan hanya ingin melihat rekapan laporan butik, namun juga ada maksud lain. Sebenarnya Mimunah sudah sedikit paham tentang kedatangan John yang tiba-tiba dan juga perubahan gayanya, namun dihadapan tante ia tidak ingin mengumbar hal itu. Maimunah takut terkesan ge’er oleh wanita keibuan itu, dan juga Maimunah merasa tidak setara dalam hal taraf kehidupan dengan John.

“John pengen melamar kamu Mai”.

Suasana hening sesaat, dan sepertinya Tante Jenny menangkap keraguan pada diamnya Maimunah sehingga ia lanjut berkata: “Dia sudah berislam Mai, jika kamu mau nanti tante lanjutkan pembicaraan ini dengan mamahnya”.

Maimunah menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya berat, ia khawatir jika setuju hubungan ini tidak akan bertahan bahkan berlanjut, karena keluarga John tidak seperti Maimunah. Mereka orang berada dan terpandang, bagaimana mungkin memiliki menantu cacat dan gadis desa sepertinya. Tante Jenny terlihat sabar menunggu jawaban dari Maimunah yang tampak menunduk diam mematung.

“Tante, bukan Mai tra mau. Tapi sepertinya Mai merasa tra cocok dengan John.” Ungkapnya sedih dengan logat timur yang kental, mungkin efek sedikit gugup.

Jika bukan karena keadaannya yang cacat seperti ini dan kehidupannya yang bukan orag desa, tentu kesempatan ini tidak akan ditolaknya. Apalagi yang kurang dari John? Lelaki baik dan ringan tangan membantu sesama, penampilan menarik idaman semua wanita ditambah telah seagama dengannya. Namun ia memilih berkaca pada dirinya sendiri yang masih banyak kurang dibanding John, Maimunah takut jika istri yang baik bahkan malah merepotkan.

“Jika yang kamu khawatirkan adalah keluarga kami, keluarga John. Insya Allah kami sudah kenal benar denganmu dan tahu bagaimana kamu. Mamahnya John juga sudah tahu keinginan anaknya dan minta tante untuk tanyakan langsung kepadamu.” Jelas Tante Jenny.

“Kamu masih belum yakin Mai? gimana kalo besok kita liburkan dulu kerjamu dibutik dan kita kunjungi Mamahnya John. Setelah itu kamu boleh mengambil keputusan”
“Gimana?” Lanjutnya.

Maimunah mengangguk mengiyakan, disusul tepukan lembut tante dipundaknya yang kemudian beranjak meninggalkan Maimunah dikamarnya. Termenung.

***
Rumah, bergaya minimalis itu terlihat asri dan rapi, Maimunah dan Tante Jenny melangkahkan kaki masuk ke dalam. Seorang wanita dengan wajah mirip sekali dengan Mita versi tua menyapa mereka, tanpa banyak kata Maimunah langsung tahu bahwa wanita itu adalah ibu John. Sudah berusia lanjut, namun masih segar dan terurus meski keriput telah menutupi wajah namun gurat kecantikan muda masih ada. Tante Jenny berpelukan, saling sapa dan tanya kabar maklum mereka satu kota tapi jarang ketemu apalagi tante Jenny yang punya banyak kesibukan. Maimunah menyambut uluran tangan wanita itu menyalami dengan membungkuk meletakkannya dihidung.

“Ini Maimunah ya?”

“Saya Mamahnya John, John banyak cerita tentang kamu”. Kata wanita itu.

“Iya tante. Terima kasih sudah mengizinkan John membantu saya”. Maimunah berkata takzim dan menunduk.

“Panggil Mamah aja, biar lebih dekat. Menurut kamu John orangnya gimana?”

“Baik Tante, eh mamah”. Jawab Maimunah dengan nada canggung yang diiringi tawa Mamah John dan tante Jenny.

Bersambung.

Oleh: Mardha Umagapi


Ditulis di subaim Halmahera Timur

Baca Bagian 8 klik disini

Selasa, 15 Oktober 2019

Kematian Adalah Nasihat Terbaik Bagi Manusia, Jika Ia Sadar

Kisah Berhikmah

Mengenang Kasih Sepanjang Masa
Bagian 3

"Halo, masih di rumah sakit kah?"

"Mama Ima, pung kondisi sekarang bagimana?"
(Kondisi mama Ima [nama panggilan ibuku oleh para sepupu]sekarang bagaimana?)

Pukul 2 malam, terdengar bapak kembali menelepon keluarga dirumah sakit untuk menanyakan kondisi ibu, namun masih seperti awal masuk ICU.

"Kalo so manganto pi tidur sudah, so lat ini".
(Kalau sudah ngantuk tidurlah, ini sudah larut.)

Bapak memintaku untuk istirahat dan tidur, aku menurutinya karena rasa kantuk sudah mulai menyerangku sedangkan bapak kulihat tidak sedikit pun mengantuk.

Beliau pergi berwudhu untuk sholat dan aku menuju kamar untuk tidur. Meskipun mengantuk, dikamar wajah dan senyuman ibu masih terbayang di mataku, dalam hati kuucapkan sebait do'a agar Allah memberikan kebaikan untuknya dan mengangkat rasa sakit yang ada padanya. Kuulang-ulangi do'a untuk ibu hingga mata terpejam karena kantuk.

Adzan subuh berkumandang, bapak berseru dari luar kamar memanggilku agar sholat. Aku bangun dan tidak lupa menanyakan kabar terbaru dari rumah sakit, bapak bilang masih sama kondisi ibu saat ini. Kami pun sholat shubuh, bapak ke mesjid dan aku dirumah.

Pulang dari mesjid bapak hendak menelpon kerumah sakit, tapi HP bapak sudah ada panggilan tak terjawab dari sana. Bapak menelepon kembali.

"Bagaimana kondisi disitu?" Bapak memulai percakapan ditelepon yang telah tersambung.

Tidak kudengar suara jawaban dari seberang, karena bapak tidak mengaktifkan loundspeaker.

"Dari kapan ? apa waktu se telepon tadi kah?"
(Sejak kapan? Apakah waktu kamu menelepon tadi?).
Kudengar suara bapak bergetar seperti menahan sesuatu beban yang berat. Namun aku masih tenang, karena memang tidak mendengar percakapan lengkapnya.

"Innalilahi wa Inna ilaihi raji'un" Bapak menarik napas berat ketika mengucapkannya.

Saat itulah aku mulai menyadari kejadian sebenarnya diseberang sana. Ku tatap wajah bapak yang masih melanjutkan percakapan dengan sepupu di telepon. Sambil menunggu bapak menyampaikan berita itu langsung kepadaku.

"Bagaimana mama pe keadaan, pa ? Sapa yang papa kase Inna lillahi ?"
(Bagaimana keadaan mama, pa? Papa menyebut Inna lillahi untuk siapa?. Tak sabar kutanyakan ke bapak setelah sambungan telepon ditutup.

"Mama so pigi kse tinggal Torang, dari jam 5 tadi"
(Mama sudah pergi meninggalkan kita, sejak jam 5 tadi)
Bapak mengabariku dengan mata berkaca-kaca.

"Innalilahi wa Inna ilaihi raji'un". Hanya kalimat Thaiyibah itu yang sanggup keluar dari mulutku.

Berita itu terasa seperti pisau yang menghujam jantungku,antara percaya dan tidak namun terasa begitu sakit. Dalam ingatan ini terbayang semua tentang ibuku berharap ini hanya sebuah kesalahan informasi. Namun kenyataannya memang ibu telah pergi meninggalkan kami semua lebih dulu menghadapNya.

Hari itu kami tidak bisa langsung kembali ke daerah tempat tinggal kami karena jadwal kapal yang akan kami tumpangi masih dua hari lagi, bapak mencari alternatif lain dengan pesawat namun hanya ditemukan satu tiket tersisa.

Bapak lebih dulu berangkat, sedangkan aku harus menunggu dua hari lagi untuk bisa kembali bersama-sama kakak pertama yang bekerja dipulau kelahiranku yang satu kabupaten dengan tempat lahir ibuku.

Melihat bapak berangkat ke Bandara untuk naik pesawat seorang diri dan kami tak berdaya untuk ikut bersama melayat jenazah ibu, rasanya seperti ingin menutup mata dan menghilang dengan harapan ketika mata terbuka diri ini sudah membersamai jenazah ibu disana. Tapi apalah daya, aku hanya bisa menunggu jadwal keberangkatan kapal agar bisa kembali kedaerah tempat tinggal kami.

Perasaan kehilangan yang hebat adalah ketika orang yang kita sayangi selama hidup kita meninggal dunia dan kita tidak dapat hadir dan mengikuti semua proses pemakamannya, hanya informasi lewat telepon yang bisa diandalkan untuk mengetahui proses itu.

Semua proses pemakaman dilaporkan oleh sepupu disana via telepon, dan selama itu hanya bisa mendengar serta tak henti-hentinya berdo’a dalam deraian air mata agar Allah mengampuni semua kesalahan ibu serta menerima semua amal kebaikannya.

“Maafkan anakmu ini ibu, jika selama hidupmu aku belum mampu menjadi putri yang baik seperti harapanmu. Akan selalu kuingat kenangan selama 18 tahun bersamamu dan semua nasihat kebaikan yang selalu kau sampaikan dalam hidupku. Selamat jalan ibu semoga kita diperkenankan Allah Ar Rahman untuk berkumpul di syurganya kelak".

Hingga saat ini peristiwa kepergian ibu menyisakan banyak hal dalam hidup kami
sekeluarga. Bapak yang seperti kehilangan separuh jiwanya, kakak yang kehilangan arah
pulang dan aku yang penuh sesal. Saat akhir hayatnya, diri ini tak bisa mendampingi dan mengantarnya dengan talqin dari bibirku serta membasuh tubuhnya terakhir kali sebagai putri satu-satunya.

Namun semua rasa itu tak akan menutup pikiran kami bahwa semua hal yang terjadi dimuka bumi ini terjadi atas kehendak-Nya, Allahu Rabbul Aalamiin.

Selesai

Oleh: Mardha Umagapi

Baca bagian 1 klik disini
Baca bagian 2 klik disini

Senin, 14 Oktober 2019

Orangtua Tak Membutuhkan Lebih Terutama Saat Sakit, Mereka Sebenarnya Hanya Membutuhkan Kehadiran Kita

Kisah Berhikmah

Mengenang Kasih Sepanjang Masa
Bagian 2

Perjalanan kami ke kampung halaman menggunakan kapal laut yang memakan waktu satu malam sekitar 8 jam dilautan. Kami tiba dipelabuhan daerah asalku keesokan harinya sekitar jam 9 pagi dan langsung menuju desa dengan menggunakan angkutan umum.

Di desa, kami tinggal dirumah salah satu kakak dari ibuku, kami beristirahat dan tak lupa mengabarkan pada ibu bahwa kami telah tiba ditempat tujuan dengan selamat dan saling berbagi cerita. Waktu berlalu maghrib pun tiba aku mempersiapkan diri untuk sholat, bapak sudah pergi ke masjid sejak sore. Beliau memilih waktu awal datang ke mesjid agar sekalian bisa bersilaturrahim dengan sanak saudara kami ketika di mesjid.

Selesai sholat HP ku berdering, segera ku angkat, ternyata itu dari sepupuku di rumah kami.

"Co, papa ada?". Katanya dengan nada panik.

"Papa bolom pulang sembahyang dong masih di mesjid" (Papa belum pulang sholat, ia masih dimesjid). Jawabku.

"Kiapa kong?" (Ada apa?). Tanyaku dengan perasaan khawatir karena nada suaranya.

"Mama tadi mandi sore kong antua jatuh dikamar mandi" (Mama tadi mandi sore, lalu beliau jatuh di kamar mandi).

Demi mendengar kabar tersebut, jantungku berdetak kencang. Berpikir tentang ibuku yang belum genap 24 jam kutinggalkan, namun sudah jatuh sakit.

Setelah sambungan telepon dari saudaraku terputus, dengan pikiran terbayang-bayang keadaan ibu yang setengah sadar setelah jatuh. Kuputuskan segera mencari bapak ke mesjid, tak lupa kukabari keluarga tempat kami menginap.

Ternyata bapak sudah pergi kerumah salah satu paman untuk makan malam. Ku susul bapak kesana dan menyampaikan berita itu. Semua keluarga kami sibuk mencari solusi untuk kami, bagaimana caranya agar bisa kembali besok meski disaat jadwal keberangkatan kapal belum ada.

"Kanapa sampe bagitu, antua itu Inga skali ose. Belum cukup satu hari so sakit". (Kenapa bisa begitu, beliau itu sangat ingat kamu. Belum genap satu hari ditinggal sudah sakti). Salah satu bibi jauhku berceloteh.

Kudengar percakapan para tetangga rumah dan keluarga jauh yang datang ketika mendengar kabar ibuku, cerita tentang perjuangan ibu untuk mendapatkan anak serta kasih sayangnya pada kami anaknya. Hatiku sedih.

"Se rindu itukah ibuku sampai harus jatuh sakit ?" Pikirku. Memang kuakui aku selama ini selalu hidup disisinya tak pernah pergi jauh tanpanya.

Saudara sepupu dirumah berbagi kabar lewat telepon tentang kondisi ibu, ia sudah dibawa ke rumah sakit. Informasi berikutnya yang kami dapat, ibu di ruang UGD sedang mendapatkan pertolongan dari para medis dan menunggu diagnosa lanjut.

Sekitar pukul 10 malam kami diberi informasi bahwa ibu dimasukkan ke ruang ICU. Menurut kabar dari sepupu, dokter mendiagnosa ibu mengalami perdarahan diotak akibat benturan dikamar mandi. Sedih sekali kami mendengarnya, apalagi kabar yang diterima
bahwa ibu sudah tak Sadarkan diri dan segala macam selang dan kabel sudah dipasang ditubuh ibu.

Dadaku mulai terasa sesak, mendorong bulir-bulir bening untuk jatuh. Namun sebisa mungkin aku tahan, dan menghalaunya dengan berpikir ibuku akan baik-baik saja.

"Tunggu aku mama, aku akan segera  datang. Kita akan bersama-sama bersenda gurau, bercerita tentang apa saja. Mama akan segera sembuh denganku yang selalu disamping". Kutekadkan dalam hati sembari berdo'a untuk kesembuhannya.

Malam itu aku dan bapak tidak dapat tidur, terus berjaga-jaga dengan telepon untuk
mengetahui kabar ibu. Kakak-kakak ku yang berada di daerah tempat kerja masing-masing
sudah dihubungi sejak mendapat berita awal tadi namun tidak berhasil tersambung akibat
jaringan ditempat mereka yang jelek.

Oleh: Mardha Umagapi

Mau baca bagian 1 ? klik disini

Berusaha Mengendalikan Hawa Nafsu: Tadabbur An Nazi'at Ayat 40-46

  Ciri-ciri Penghuni Surga 1. Takut pada Allah 2. Mengendalikan hawa nafsu 3. Terlibat dalam dakwah وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَ...