Dilihat

Senin, 30 September 2019

Wamena, Bukan Masalah Suku, Ras atau Agama

Catatan Sebuah Momentum

Jangan generalisasi mereka.
Sebagian mereka juga menjadi korban ditanah sendiri. Jika pendatang boleh memilih untuk pulang ke kampung halaman sebagai alternatif mengungsi.

Mereka tidak punya pilihan itu, meninggalkan tanah kelahiran yang sedang rusuh.Hati tak sampai. Memilih untuk tinggal, berpeluang merenggang nyawa.

OAP Menungsi

Pelaku adalah oknum yang terprovokasi bukan keseluruhan mereka.
Kita sedang diadu domba.
Persatuan diujung tanduk.

Sempat menyaksikan cuplikan video wawancara seorang anak OAP usia SMA yang ikut dibakar karena berusaha melarikan diri saat sekolahnya diserang.

Sempat juga membaca kisah seorang dosen pendatang yang melarikan diri dari serangan perusuh dikampusnya, ia kemudian dibantu untuk sembunyi olah OAP disekitar kampus.

Warga pendatang yang dilindungi OAP

Hati terpukul, menyaksikan sebuah video viral di media sosial. Hampir semua bangunan termasuk rumah penduduk dibakar tanpa pandang bulu di sana. Sehingga yang tersisa hanyalah bangunan kantor aparat, TNI maupun Polisi.

Segudang kebaikan saudara kita tergerus habis dengan satu isu yang memecah belah.
Menghilangkan rasa kepercayaan dan rasa memiliki karena satu Indonesia.

Oleh: Mardha Umagapi

Ditulis di Subaim Halmahera Timur.
Semua gambar adalah dokumentasi viral dimedia sosial, kami kesulitan menemukan sumber asli.

Minggu, 29 September 2019

Janji Adalah Utang, Sekali Berjanji Maka Tanggung Jawabnya Di Dunia dan Akhirat

Kisah Berhikmah

Pertolongan Berujung PadaNya
Bagian 5

Dalam hubungan antar sesama manusia, kadang interaksi menghadirkan berbagai ikatan atas pembicaraan, termasuk janji. Janji adalah utang, sekali mengucapkan janji maka tanggung jawabnya didunia dan akhirat. Apatah lagi terkait dengan hal penting dalam kehidupan seseorang, jika tidak bisa dilaksanakan maka sebaiknya menjelaskan kendala yang dihadapi dengan jujur pada orang yang dijanjikan diiringi permintaan maaf.

Hari beranjak sore, Maimunah baru saja menyelesaikan agenda sorenya, membersihkan bagian dalam barak tempat tinggalnya. Diliriknya tas berisi barang-barang yang sudah dipackingnya. Pikirannya mengajak untuk mengembalikan semua barang yang telah terbungkus tas ke tempatnya, namun jauh dilubuk hati ia sejujurnya berharap sosok tegak dan berwibawa itu datang menjemputnya sesuai janji.

Harapan Maimunah untuk keluar dari pulau itu pupus, seminggu sudah tak ada kabar dari John. Lelaki yang biasa mengunjunginya setiap sore setelah bertugas itu, tidak pernah datang lagi setelah meyatakan keinginannya tempo hari. Memang terasa perih dihati namun Ia sadar, siapalah ia yang tidak memiliki hubungan apapun dengan John. Hanya seorang gadis yatim piatu yang diselamatkan ditegah-tengah pembantaian tragis keluarganya.

“Mai, beso torang deng sebagian orang di barak ini mo dapa eksodus pi di ibu kota kabupaten. Ngana tara bagabung ?” (Mai, besok kami dan sebagian orang di barak ini akan di eksodus ke ibu kota kabupaten. Kamu tidak ikut?) Tanya Ci Risa tetangga sebelah barak.

“Saya masih mau disini Ci (Panggilan untuk wanita yang lebih tua usianya)”. Jawab Maimunah singkat.

“Ngana jang talalu berharap deng orang lain Mai, skarang ni tra ada yang bisa jaga tong pe diri selain torang sendiri.” (Kamu jangan terlalu berharap dengan orang yang belum terlalu dikenal, kondisi seperti ini tidak akan ada yang bisa menjaga diri kita selain kita sendiri). Nasihat Ci Risa.

“Iya Ci, Saya Cuma mo pi baku lia Tete deng Nene dulu di Pemakaman. Nanti kalo dalam waktu dekat ada yang pigi lagi baru saya iko.” (Iya Ci, saya hanya mau pergi menengok Kakek dan Nenek di pemakaman. Nanti jika diwaktu dekat ada yang mau pergi saya akan ikut) Balas Maimunah.

Didalam hati ia membenarkan apa yang dikatakan oleh Ci Risa, ia sekarang sendiri dan harus bisa mengurus diri tanpa mengaharapkan bantuan siapapun dikeadaan seperti ini. Termasuk John, lelaki itu mungkin berubah pikiran untuk membawanya atau bisa saja keluarganya tidak berkenan dengan kehadiran orang seperti dirinya.

Maimunah mengunjungi pemakaman Kakek dan Nenek esok harinya setelah rombongan orang orang yang akan dieksodus berangkat. Ia masih menggunakan tongkat kayu sederhananya, kursi roda pemberian John masih ada namun ia belum mahir menggunakannya sendiri. Menggunakan tongkat memang lelah, tubuhnya kepayahan dengan tongkat ditangan. Kedua kakinya tidak bisa digunakan untuk berjalan sehingga berat tubuh ditanggung sepenuhnya oleh tongkat dibawah ketiak.

Pemakaman ini merupakan pemakaman umum yang dibuat tidak jauh dari barak tempat mengungsi, isinya adalah orang-orang yang wafat akibat kerusuhan itu. Maimunah tampak serius membersihkan beberapa rumpun tumbuhan liar yang tumbuh hampir masuk kedalam makam. Nisan yang tertancap disemua kuburan ada yang ditulisi nama dan ada yag tidak, ia beruntung meski milik kakek dan neneknya tak bertuliskan nama tapi sejak awal berkunjung ke makam ia diantar John yang memang tahu persis lokasinya.

“Sedang apa disini sendirian?”

Satu suara mengagetkan Maimunah saat sedang berdo’a untuk Kakek dan Neneknya, namun ia tak menoleh dan memilih melanjutkan do’anya dalam isak haru.

“Saya mencari kamu kemana-mana hampir disemua barak.” Suara itu terdengar dekat dibelakangnya.

Bersambung

Oleh: Mardha Umagapi

Ditulis di Subaim Halmahera Timur

Sabtu, 28 September 2019

Mintalah Petunjuk Pada Rabbmu dan Lapangkan Hati Menerima Putusan dari-Nya.

Kisah Berhikmah

Pertolongan Berujung Pada-Nya
Bagian 4

Sebuah pilihan hidup kadang datang dalam waktu mendadak dan meminta untuk mengambil keputusan dengan cepat. Jika saat itu tiba, mintalah petunjuk pada Rabbmu dan lapangkan hati menerima putusan dariNya.

Setelah perbincangannya dengan John usai berkeliling sore itu, Maimunah susah untuk memejamkan mata saat malam tiba. Kantuk tak juga menyerangnya. Terngiang-ngiang permohonan izin John untuk membawa serta dirinya keluar dari daerah tempat lahir dan dibesarkan saat ini yang sedang rusuh.

Masa bertugas John akan selesai didaerahnya, lelaki itu merasa bertanggung jawab padanya. Ia masih tidak mengerti, kenapa John begitu perhatian. Namun tak bisa ia pungkiri setelah Kakek dan Nenek yang merupakan keluarga terakhirnya meninggal, Maimunah menaruh harapan pada laki-laki itu apalagi kondisinya yang tidak seprima dulu.

“Banyak keluarga saya yang Muslim juga, saya pikir mereka bisa membantumu untuk memulai hidup disana. Saya akan usahakan itu jika kamu mau ikut.”

“Pagi ini saya akan dijemput mobil untuk berangkat kedermaga penyebrangan. Kalo kamu bersedia, siapkan barang-barangmu dan tunggu saya didepan barak.”

Berkelebat percakapan John dengannya sore tadi, Maimunah ingin ikut serta namun ia khawatir kondisinya tidak dapat diterima di tempat yang dimaksud John. Tapi jika ia tidak ikut, apa yang dapat ia lakukan disini? Dan siapa yang akan membantunya seperti John? Malam semakin larut, Maimunah akhirnya memutuskan untuk ikut.

Pagi-pagi sekali ia sudah bangun dan memersiapkan diri untuk menunggu John yang akan datang dengan mobil yang membawa mereka. Beberapa orang yang mengenalinya datang menghampiri dan menemaninya dihalaman barak, mereka membenarkan keputusannya untuk ikut daripada berdiam diri di tempat ini yang belum jelas nasib kedepannya.

Matahari semakin meninggi, membuat halaman barak sudah mulai tersengat panas. Waktu menunjukkan pukul 9 pagi namun sosok John belum juga muncul, ada perasaan tidak enak dihati Maimunah apakah John tidak jadi menjemputnya? Mungkinkah lelaki itu memutuskan pergi sendiri? Ia tak bergeming dari tempat itu, sementara orang-orang yang tadi menemaninya telah pamit untuk melanjutkan aktivitas mereka.

Bersambung

Oleh: Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur

Teruslah Berikhtiar dan Berdoa karena Tidak Ada Yang Tahu Jalan Hidup Seseorang

Kisah Berhikmah

Pertolongan Berujung PadaNya
Bagian 3

Jalan hidup seseorang memang tidak ada yang mengetahuinya. tidak seperti masa lalu yang selalu dikenang dan diingat, masa depan adalah sesuatu yang misterius. Seorang manusia tidak akan mengetahuinya hatta untuk sepersekian detik kedepan ia akan dipertemukan dengan peristiwa apa.

Maimunah sadar meskipun luka telah sembuh ternyata kakinya tidak dapat digerakkan, setelah melewati pemeriksaan dokter diketahui bahwa saraf yang terhubung dikakinya putus . Hal ini membuatnya tidak dapat berjalan seperti sediakala. Terpukul dengan keadaannya, hampir setiap hari dibarak ia bermuram durja. Beruntung ada John, prajurit itu selalu menyempatkan diri menemani Maimunah setelah selesai dengan tugas kenegaraannya, seperti sore itu.

“Apa rencanamu hari ini?“ John membuka percakapan.

Meski ia tahu kemungkinan Maimunah untuk merespon sangat kecil. Gadis itu sejak diselamatkannya dari pembantaian tragis dikampungnya lebih banyak diam dan hanya merespon hal-hal yang dianggapnya penting. Suasana hening setelah John bertanya.

John akui kadang diamnya Maimunah membuatnya merasa enggan untuk datang kembali menemui gadis yang kadang sosoknya menghiasi mimpi John. Namun demi diingatnya hal berat yag dilalui Maimunah, John urung menjauhinya.

“Jika kau ingin berjalan-jalan disekitar barak ini, mungkin aku bisa bantu menemani.” Lelaki itu menawarkan diri.

“Ehem, kadang terlalu lama berdiam diri disatu tempat akan membuat kita bosan.”  Lanjut John setelah berdehem memecah kebisuan diantara mereka.

John menarik keluar sesuatu yang disembunyikan sejak tadi di balik tenda. Sebuah Kursi roda. Selama ini Maimunah hanya mengandalkan tongkat untuk bergerak kesana kemari, ke kakus maupun mengambil makanan. Mungkin dengan kondisi itulah ia malas kemana-mana karena kelelahan, ia harus belajar menyeimbangkan tubuh dengan tongkat itu.

Kursi Roda diletakkan John didepan Maimunah, ternyata benda itu berhasil membuat air muka Maimunah berubah sedikit bahagia. Sore itu Maimunah pertama kali berkeliling barak pengungsian dan John menemaninya, banyak sapaan hangat ia dapatkan meski ada beberapa tatapan mata para gadis sebayanya yang terlihat tidak begitu senang dengan kebersamaannya dengan John.

Mereka berhenti untuk beristirahat dibawah sebuah phon yang rindang disebelah barak tempat tinggal Maimunah. Matahari mulai beranjak senja dan sebentar lagi John harus kembali ke barak para prajurit untuk memulai aktivitas malam.


“Terima kasih so batamang saya keliling barak pak”. (Terima kasih sudah menemani saya keliling barak pak) Maimunah memulai percakapan.

“Sebenarnya ada hal penting yang ingin saya sampaikan padamu jika kamu berkenan”. John tampak serius dengan hal yang akan disampaikannya, dan Maimunah melihat itu.

“Barang ada apa pak? Bilang saja kalo memang baik saya akan ikuti” (tentang apa pak? Jika baik saya akan ikuti). Tanya Maimunah.


Sebelum sempat menjawab, tampak seseorang dengan baju seragam tentara mendekat kearah mereka lalu memberi hormat kepada John yang telah berdiri tegap menunggu informasi.

Bersambung 

Oleh: Mardayati Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur

Saat Berharga Untuk Anak Kita: Sebuah Resensi

Resensi dan Review

Judul buku: Saat Berharga Untuk Anak Kita
Penulis: Mohammad Fauzil Adhim
Penerbit: Pro-U Media
Tahun terbit: 2009
Isi buku: 278 halaman

Seringkali para orangtua disibukkan dengan aktivitas diluar rumah, entah itu urusan mencari uang untuk mencukupi kebutuhan sekeluarga maupun urusan penting lainnya sehingga jarang membersamai sang buah hati. Padahal kebutuhan seorang anak bukanlah melulu terkait dengan keuangan, ada hal krusial yang tak penting untuk diperhatikan yaitu dari segi pemenuhan kasih sayang. Pemenuhan kasih sayang ini tidak akan tercapai jika waktu untuk bersama dalam konteks quality time dengan mereka kurang bahkan jarang.

Buku yang ditulis oleh Ustadz Mohammad Fauzil Adhim yang merupakan seorang pemerhati masalah rumah tangga ini, menekankan bagaimana menjadikan masa kecil anak-anak sebagai saat paling berharga untuk membangun kedekatan emosi, menciptakan pola komunikasi antara orang tua dan anak sebagai saluran untuk mengisi jiwa mereka. Juga tentang pentingnya menata niat dalam mendidik anak, karena melalui niat itulah tujuan akan tercapai.

Poin-poin penting yang dimuat buku ini yaitu:

Bagian I, Semuanya Bermula dari Niat. Berisi tentang bagaimana nanti sebagai orangtua kita yang akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak, maka sudah selayaknya luruskan niat untuk mendidik kebaikan kepada anak-anak sehingga nanti tidak akan menjadi amanah yang kita sia-siakan.

Bagian II, Membangun jiwa anak. Memuat tentang bagaimana seharusnya orangtua bertingkah laku kepada anaknya, termasuk pemecahan seputar masalah-masalah tingkah laku anak yang tidak sesuai. dibagian ini juga penulis memberikan muatan seputar kebiasaan-kebiasaan baik yang perlu diterapkan kepada anak untuk membentuk kepribadiannya serta beberapa tingkah laku yang perlu dicontohkan pada anak.

Bagian III, Titip Rindu Buat Anak. Berisi kisah-kisah pribadi penulis yang menandung hikmah untuk dipetik sebagai pelajaran untuk para orangtua. 

Bagian IV, Menghukum dengan Kasih Sayang. Bagaimana menghindari sumbu pendek sebagai orangtua, bagian ini juga memaparkan tentang bagaimana menghukum anak yang melakukan kesalahan serta cara bijak memarahi anak. Dibahas juga tentang perilaku tegas orangtua pada anak untuk mengatakan tidak jika melanggar kesepakatan dan aturan yang disepakati bersama, dan juga menyorot perlunya kekompakan suami istri ketika menghadapi berbagai masalah seputar anak.

Bagian V, Mempersiapkan Masa Depan Anak. Ulasan pada bagian ini seputar tantangan-tantangan hidup anak dimasa akan datang, apa-apa yang harus diwariskan orangtua kepada mereka untuk menghadapi tatangan itu serta mendidik anak lebih peka menolong sesama dimasa depan.

Buku ini sangat baik untuk dibaca oleh para orangtua ataupun calon orangtua dan para pendidik, isinya yang dipaparkan melalui kisah-kisah membuat buku ini mudah dicerna, bahasanya pun ringan. Mari berproses menjadi orangtua yang baik untuk anak, karena mereka adalah penerus di masa depan dan investasi kita didunia maupun akhirat.

Oleh: Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur

Rabu, 25 September 2019

Seringkali Ada Orang Yang Berkorban Demi Kita Tanpa Kita Sadari

Kisah Berhikmah

Pertemuan Berujung PadaNya
Part 2

Maimunah berlari kearah dua orang tua itu tanpa mempedulikan kerumunan para perusuh itu, direngkuh dua tubuh berdarah itu tanpa rasa takut akan kondisi sekelilingnya. Sang Nenek telah lebih dulu menghembuskan napas terakhirnya, ia terlambat kini tinggal Kakek yang terkulai lemah darah telah terlanjur banyak mengalir. Diteriakkannya panggilan untuk kedua orang tua itu dengan sekuat tenaga berharap masih ada kehidupan. Seiring berakhir teriakannya satu tebasan melayang ke tubuh bagian bawah, dirasakan perih sekali. Darah mengucur dari kakinya, namun perhatiannya masih mengarah ke Sang kakek yang lamat-lamat menyebut kalimat syahadat dan mengakhiri napasnya.

Rasa perih luka dan perih ditinggal orang terkasih membuatnya berteriak sekencang mungkin hingga gerombolan itu bersiap untuk menebas kembali. Demi dilihatnya pedang terangkat, Mai menutup mata memasrahkan hidup dalam genggamanNya sembari bersyahadat dalam hati. Ia pasrah jika memang ini adalah akhir hidupnya, ia sudah rela jika harus menyusul Kakek dan Neneknya.

"Tunggu, apa yang kalian lakukan ? Mereka bukan lawan kalian." Suara berat seseorang terdengar menghentikan.

"Mundur dari situ atau kami tembak" Sambung suara yang lain

Maimunah mencoba membuka mata, dilihatnya sekelmpok pria berbaju loreng tengah mendekat, pandangannya terasa kabur namun jelas terlihat olehnya gerombolan perusuh tadi bergerak menjauh darinya dengan dengusan kesal.


"Dorang ini pe kaum yang bikin torang pe keluarga banyak mati" (Kaum mereka ini yang banyak membuat keluarga kami terbunuh) Seru salah satu dari gerombolan itu dengan nada kesal dan menantang.

"Iya, tapi bukan bertindak anarkis pada wanita dan orang tua tak berdaya". Balas salah satu pria berbaju loreng sembari mendekat pada Maimunah.

Sebelum pandangannya semakin kabur dan gelap sempat terlihat papan nama diseragam lelaki itu yang mendekat kepadanya, "John T" .

Tenda sebesar ruangan disekat dengan kain-kain pembatas warna putih, pemandangan yang terlihat pertama kali saat Maimunah membuka matanya.

"Dimana ini ?" Gumamnya dalam hati, lalu teringat peristiwa tragis itu.

"Tete deng Nene !" (Kakek dan Nenek) Ucapnya lirih dan bergegas hendak turun dari ranjang serbaguna ditenda itu.

Tapi sepertinya ada yang mengganjal dibagian kakinya. Saat tangan hendak menyibak selimut dari kakinya satu suara menghentikan gerakannya.

"Kamu sudah siuman rupanya". Pemilik suara itu adalah lelaki yang terakhir kali dilihatnya sebelum tak sadarkan diri saat kejadian tragis merenggut nyawa Kakek Neneknya.

"Jangan dulu banyak bergerak, luka kamu baru dikasih obat". Sambungnya lagi.

"Maaf Pak, Saya pe Tete deng Nene bagimana?" (Maaf pak, Kakek dan Nenek say gimana) Maimunah tak sabar mencari tahu keadaan setelah ia tak sadarkan diri.

"Mereka sudah diurus dengan layak oleh teman-teman kami yang Muslim, kamu tidak usah khawatir fokus kesembuhanmu dulu".

Pandangan mata Maimunah kabur dengan kristal bening yang mulai turun ke pipinya. Ia ingin bertanya lebih lanjut namun dadanya terasa sesak dengan bayang-bayang peristiwa itu.

"Maafkan kami terlambat datang, memang situasi genting bukan hanya dikampungmu, sehingga harus menyisir satu persatu berdasarkan laporan Kepala Desa via HT".

Lelaki berkulit putih dengan wajah seperti campuran Indo-Eropa itu terlihat menunduk menyesali keterlambatan ia dan pasukannya.

Maimunah, masih terisak namun canggung untuk bertanya lebih lanjut, dilihat dari perawakan dan bahasanya Anggota TNI ini seperti bukan dari daerahnya.

"Tadi ada yang datang menanyakan kondisimu, mungkin keluarga. Ia bilang namamu Maimunah. Benarkah ?" Lelaki itu melanjutkan percakapan.

Maimunah mulai tenang dan mengangguk sebagai jawaban.

"Kenalkan, Namaku Jhon. Jhon Theodor". Lanjutnya sambil mengulurkan tangan hendak bersalaman.

Namun Maimunah urung menyambut, Nama itu mengingatkannya pada gerombolan orang yang membunuh Kakek dan Neneknya.

Bersambung

Oleh: Mardha Umagapi

Senin, 23 September 2019

Jangan Lupakan Orang Yang Telah Menolong Saat Kesulitan

Kisah Berhikmah

Bagian 1

Pagi yang cerah sebelum melangkahkan kaki keluar rumah menuju tempatnya menimba ilmu selama kurang lebih dua tahun ini, diraihnya tangan wanita separuh baya itu dan menciumnya takjim. Wanita yang masih terlihat cantik meski usia telah mengambil sebagian kesehatannya, Ia menggerakkan kursi rodanya menyongsong sang putra yang bergerak keluar.

" Rahim berangkat dulu e Mama " Pamitnya.

" Hati-hati dijalan sayang " Mama membalas sambil tersenyum.

Mama, wanita tegar dengan kondisi fisik yang tak lagi prima sejak peristiwa puluhan tahun lalu merenggut sebagian tubuhnya. Kakinya. Rahim ingat betul bagaimana cerita mama tentang perjalanan hidupnya ketika ia bertanya tentang kronologis mama kehilangan kakinya.

Dua puluh satu tahun yang lalu.

Mai ! Maimunah, Ayo pulang ! Terdengar suara diseberang sungai berteriak memanggilnya.

"Kenapa Tete (Panggilan untuk Kakek) ? Mai bolom abis bacuci" Balasnya.

Ayo cepat, ngana tara dengar suara tiang listrik dipukul ? Torang pe kampong so dapa serang ini. Teriak Kakek diseberang memanggilnya.

Mai lemas seketika demi mendengar suara sang Kakek yang penuh kecemasan. Kakinya terasa sulit untuk diangkat, rasa takut membuatnya kehilangan tenaga. Namun ia berusaha bergerak, dilihatnya kakek diseberang kali berusaha menuju kearahnya. Sekuat tenaga ia bangkit dari dalam air tempatnya mencuci. Pakaian yang belum semuanya dicuci dibiarkan Mai begitu saja.

Dengan langkah berat menyebrangi sungai yang tidak begitu deras, dihampirinya sang Kakek. Saling membantu mereka bergegas meninggalkan sungai menuju kampung. Satu persatu orang berlari melewati mereka sambil tak henti-henti mengingatkan.

"Tara usah pi di kampong, lari di hutan saja, so tabakar samua rumah-rumah". Kata Junaidi tetangga rumah mereka yang kebetulan lari melewati mereka.

"Tong pe rumah bagimana ? Nene sarah tara iko lari ?" Kakek menahan laju lari Junaidi, dan bertanya.

"Samua orang so tra ada di kampong, tadi tiang listrik babunyi tuh om pala (Sebutan untuk Kepala Desa) kase peringatan terakhir suruh lari". Junaidi menjawab dan melepaskan diri untuk berlari kembali.

"Mai, iko dorang lari sudah. Tete mo pi lia nene dulu." Kakek memerintah kemudian melepaskan pegangan tangannya pada Mai.

"Mai iko Tete, batamang cari Nene". Bantahku, tapi terlambat Kakek sudah berlari menjauh.

Diantara kekalutan, Maimunah bergerak menyusul Kakeknya dengan sisa tenaga yang ciut karena rasa takut. Semakin mendekati kampung aroma terbakar dan asap semakin terasa. Maimunah bergerak kearah rumah mencari Kakek dan Neneknya. Didalam pikirannya tidak ada yang lebih penting dari Kakek dan Nenek meski keselamatannya sendiri, ia yang yatim piatu dibesarkan oleh mereka, orangtua dari Ibunya.

Ia urung mendekati rumah dan memilih bersembunyi dirumpun semak liar tepat tak jauh dari halaman belakang rumah mereka. Air mata meleleh, dilihatnya rumah tempat dibesarkan terbakar bersama rumah-rumah warga yang lain. Berkelompok-kelompok orang tampak menyisir setiap rumah yang mereka bakar, mungkin untuk melihat apakah ada warga yang bersembunyi.

Netranya sibuk mengarah kesana kemari mencari dua sosok yang sangat dicintai namun nihil. Perlahan dilihatnya kelompok-kelompok tadi mulai bergerak meninggalkan kampung mereka. Ia mendengar keributan dari arah selatan dekat rumahnya, mencoba menghilangkan rasa takut didekati arah suara tersebut, berjalan mengendap-ngendap bersembunyi diantara pepohonan yang tumbuh rindang dibelakang rumah-rumah warga yang telah terbakar.

Maimunah kaget seketika langkah terhenti, sumber suara tadi yang dicarinya ternyata sekelompok lain dari para pembakar tadi, mereka mengelilingi dua orang tua yang telah berdarah-darah terkena pedang mereka. sang Kakek berusaha melindungi Nenek dengan memeluknya, punggung dipenuhi luka. Pandangan Maimunah kabur oleh kaca-kaca bening dipermukaan netranya.Ia nekat berlari kearah dua orang tua itu.

Bersambung.

Oleh: Mardha Umagapi
Kisah setengah Fiksi ditulis di Subaim Halmahera Timur


Sampah Kali Muria Subaim Halmahera Timur, Di Libas Habis Oleh Relawan PIK R OSIS SMAN 2


Galeri Haltim.

Keberadaan sebuah institusi pendidikan sudah selayaknya memberikan kebermanfaatan di lingkungan sekitar, baik itu dari segi perbaikan moral maupun kelestarian lingkungan. Penanaman eksistensi itulah yang coba dilakukan oleh siswa-siswi yang tergabung dalam OSIS SMA Negeri 2 Halmahera Timur. Dalam program mereka PIK R atau yang di sebut Pusat Informasi Konseling Remaja, para siswa ini turun ke lingkungan sekitar untuk melakukan bakti sosial (BakSos)

Di hari Minggu 22 September 2019 kemarin, titik BakSos yang dipilih adalah salah satu jalur sungai didaerah Subaim Halmahera Timur Provinsi Maluku Utara yang biasa disebut warga setempat dengan nama Kali Muria. Agenda BakSos dimulai pagi hari dan berakhir saat matahari mulai memancarkan sinar yang menyengat kulit.

Sebagian besar sampah telah diangkat oleh mereka dari bantaran sungai, sampah-sampah yang tertumpuk disana adalah sampah rumah tangga hasil dari pembuangan sampah masyarakat sekitar. Memang diperlukan kesadaran masyarakat terkait tata kelola sampah rumah tangga, sehingga tidak ada lagi yang membuang sampah disembarang tempat terutama bantaran sungai dan saluran pembuangan air lainnya seperti parit atau selokan.


Difoto adalah bagian kecil dari sampah yang mereka bersihkan, sampah POSPAK atau Popok Sekali Pakai memang termasuk sampah dengan jenis pencemaran lingkungan yang tinggi jika dibuang disungai. Kenapa ? karena merusak ekosistem sungai, mulai dari pencemaran airnya, mengganggu habitat mahluk hidup disungai dan parahnya lagi, jenis bahan yang tidak bisa terurai mengakibatkkan penumpukan dibantaran sungai lalu memperkecil jalan air.

Agenda dari pagi hingga siang kemarin dengan membersihkan sebagian besar sampah dijalur Kali Muria sedikit banyak telah membantu melancarkan saluran air sungai sehingga ketika musim hujan tiba, banjir akibat sumbatan sampah-sampah tadi dapat terelakkan. Anak-anak usia remaja ini terlihat bersemangat dengan aktivitas tersebut, memang awalnya sampah-sampah itu terasa jijik bagi mereka untuk disentuh namun rasa kepedulian lingkungan yang terbangun mengalahkannya.

Yang menjadi catatan penting dari rasa kepedulian siswa-siswi ini, jangan sampai sia-sia karena kurangnya kesadaran masyarakat terkait sampah dan lingkungan. Perlu adanya kegiatan sosialisasi dan edukasi dari pihak terkait kepada masyarakat tentang masalah sampah.

Oleh: Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur

Minggu, 22 September 2019

Menulis Dengan Gaya Yang Disukai Cenderung Lebih Menyentuh Sisi Pembaca

Catatan Sebuah Momentum.

Tidak terlalu hebat dalam hal mengelola imajinasi membuatku melabuhkan tulisan-tulisan dalam bentuk non fiksi. Dimana menulis berdasarkan fakta dan kenyataan suatu peristiwa atau bersifat nyata baik fakta maupun opini.

Menurutku mereka yang menuliskan kisah-kisah fiksi terutama dengan tema cerita bersambung maupun novel, adalah orang-orang luar biasa karena bisa menghasilkan karya tulis lewat khayalan dan imajinasi, yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Merangkai peristiwa demi peristiwa menghadirkan konflik dan solusi, sungguh hebat.

Seringkali aku coba untuk menuliskan kisah fiksi dalam bentuk cerita bersambung namun selalu mentok. Hingga akhirnya selalu membelok menjadi tulisan berdasarkan kisah nyata, agar alurnya lebih mudah kudapatkan karena sesuai fakta.

Beberapa waktu lalu aku sedang mencoba menuliskan tulisan tentang peristiwa hijrah beberapa orang yang rencananya akan dibukukan. Tapi karena narasumber yang kudapatkan terbatas dan juga sebagian kisah yang menurutku kurang dramatis, akhirnya aku memadukan antara kenyataan dari kisah mereka dan beberapa kejadian kutambahkan berdasarkan imajinasi. Hasilnya ternyata menurut beberapa orang lebih menarik.

Akhirnya baru kutahu praktik menulis yang telah kulakukan dengan menggabungkan antara fakta dan bukan fakta atau fiksi, termasuk dalam genre tulisan yang disebut faksi. Fakta yang dikemas dalam bentuk fiksi. Faksi, menurut tulisan yang ditulis dalam blog pak cah yang pernah kubaca, diartikan sebagai membuat cerita fiksi berdasarkan kisah nyata, atau membuat fakta menjadi sebuah karya fiksi.

Biasanya diberikan keterangan “based on true story”, atau berdasarkan kisah nyata. Dalam bentuk faksi ini, penulis bebas menambahkan “bumbu-bumbu penyedap”, dari suatu kejadian atau fakta yang benar-benar terjadi, gunanya agar cerita semakin enak dan menarik untuk dibaca, apalagi ketika dibuat menjadi film layar lebar. Begitulah faksi menurut blog pak cah.

Apapun pengertian faksi, jauh sebelum mengenal istilahnya, aku untuk sementara ini tertarik dengan genre menulis yang satu ini. Entah diwaktu yang akan datang mungkin kesukaanku akan berubah, namun untuk saat ini menjalani gaya tulisan yang aku suka adalah sesuatu yang jauh lebih baik menurutku. Sehingga tulisan-tulisan yang dihasilkan pun cenderung berasal dari olahan pikiran dan perasaan yang lebih menyentuh pembaca.

Oleh: Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur

Sabtu, 21 September 2019

OSIS SMAN 2 Halmahera Timur Menghadirkan Kebiasaan Baik Dengan Mentoring

Galeri Haltim.


Seperti kata bijak, "Ilmu bukan hanya diperoleh dibangku kelas, tetapi ilmu itu bertebaran dimana-mana bagi yang mau mempelajarinya". Hari Jum'at tanggal 20 September 2019 kemarin menjadi pilihan hari bagi siswa-siswi SMA Negeri 2 Halmahera Timur Maluku Utara, untuk bermajelis ilmu dalam balutan Mentoring Keislaman di Mushala sekolahnya.

Mentoring yang merupakan program Bidang Rohani Islam OSIS SMAN 2 ini, memang direncanakan pelaksanaannya setiap pekan pada hari Jum'at. Kegiatan yang berdurasi kurang lebih satu jam ini dimulai dari pukul 10.30 WIT. 


Tema Mentoring pekan ini tentang "Hizbussyaitan" yang disampaikan oleh Ibu Lisma M. Saing, SS. Salah satu staf pengajar di SMAN 2. Pemilihan tema kali mengangkat pembahasan seputar keharusan mengikuti kelompok kebaikan. Karena di dunia ini Allah ciptakan kelompok kebaikan dan kejahatan, dimana kebaikan dilatarbelakangi oleh petunjuk dari Allah sedangkan kejahatan ditunggangi oleh bujuk rayunya syaitan.

Sebagaimana tujuan kegiatan Mentoring ini, para siswa diberikan tambahan pengetahuan agama Islam selain melalui pelajaran agama disekolah. Sehingga siswa-siswi lebih terbekali dari segi rohani untuk menghadapi tantangan zaman kedepan.

Sebuah program kerja OSIS yang menarik. Menurut pengurusnya, program ini telah ada dari tahun ke tahun. Saat ini mereka hanya meneruskan program tersebut karena melihat manfaat yang besar untuk siswa-siswi di SMAN 2 Halmahera Timur.

Bagaimana menurut pembaca ? Program ini layak untuk dicontoh oleh OSIS disekolah lain bukan ? Semoga menginspirasi.

Oleh: Mardha Umagapi
Ditulis di Subaim Halmahera Timur.

Kamis, 19 September 2019

Keimanan Tidak Diwariskan Sebab Hidayah Tidak Dijual


Hidayah Part 2

Wajah-wajah tak sabar menanti berubah menjadi sedih dan sebagian cemas. Mungkinkah ia tak mau lagi kembali setelah hukuman itu ? Sebagian mencoba untuk mengingatkan tetap berhusnudzan. Aku mengusulkan untuk besok berkunjung ke kostannya biar langsung bertemu dengannya, mungkin ia masih sungkan datang.

Esoknya dikostan, kami tak menemukan siapapun dikamarnya. Ibu kost memberikan informasi bahwa ia telah pindah tempat kostan. Kami mencari keterangan dari ibu kost tentang tempat barunya namun beliau tidak tahu.

Hari-hari dilalui dikampus dengan kehilangan sosoknya dalam kegiatan organisasi. Hingga suatu pagi aku berpapasan dengannya di gerbang kampus dengan perubahan drastis seperti awal ia masuk kampus. Tidak ada lagi rok panjang menjuntai dengan baju selutut dan kerudung menutup dada. Aku sedih, ingin segera menghambur kearahnya setelah tersenyum padanya. Namun urung kulakukan karena ia membuang muka tanpa membalas senyumanku dan berlalu seakan tak mengenalku.

"Ya Rabb, apakah hukuman itu begitu berat baginya sehingga harus kembali futur ? Padalah tak ada niatan lain dari kami maupun majelis agar ia menyadari kesalahannya yang melanggar syariat dengan lawan jenis non mahram".
Batinku dengan bulir bening disudut mata yang kudapatkan perlahan.

Peristiwa itu menjadi akhir kebersamaan ia denganku dalam organisasi maupun keseharian dikampus. Segala upaya pernah dilakukan oleh kami kakak-kakak dan temannya seorganisasi untuk mendengarkan langsung dari mulutnya terkait keacuhannya, namun ia selalu menghindar. Hingga majelis memutuskan bahwa ia sudah tidak mau bergabung dengan kami lagi, melalui pesan singkat yang dikirimnya pada ketua keputrian  organisasi.

Kami semua sesalkan sikapnya yang tak bisa menerima konsekuensi atas sebuah perbuatan pelanggaran aturan organisasi. Seberubah apapun keadaannya saat ini, aku dan teman-teman seorganisasi menaruh harapan yang besar padanya untuk kembali. Lebih khusus lagi diriku orang pertama yang mengajaknya mengenal dakwah dibarisan ini.

Lewat peristiwa itu kusadari bahwa hidayah adalah milik Allah, ia berhak memberi dan mengambilnya dari siapapun yang dikehendaki.

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi hidayah (petunjuk) kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (Al Qashash : 56)

Oleh: Mardha Umagapi

Ditulis di Subaim Halmahera Timur
(Kisah Fiksi, mohon maaf jika ada kesamaan karakter dan tempat)

Hidayah Milik Allah, Kita Hanya Berikhtiar Mengajak


Hidayah Part 1

Dipertemukan di organisasi dakwah membuat kami semakin dekat. Hadir mengikuti kajian keislaman bersama-sama, hadir kegiatan dikampus bersama-sama dan seringkali berkumpul di asrama untuk sekedar berbagi kisah dan makan bersama.

Awal mula mengenalnya saat pertama kali aku ikut andil dalam panitia penerimaan anggota baru organisasiku, posisinya yang saat itu sebagai mahasiswi baru tentu membuat hatiku tergerak untuk mengajaknya bergabung dengan organisasiku.

Ajakanku bersambut, ia dengan senang hati mau menerima undangan training yang kuberikan. Saat hari training pun ia hadir dan mengikuti hingga akhir acara. Kulihat ada kesungguhan darinya untuk aktif berorganisasi, ia begitu antusias dengan semua materi yang disampaikan. Memberi feedback dengan pertanyaan-pertanyaan kritis, membuatnya menjadi pusat perhatian peserta dan juga kami sebagai senior. Ada harapan baru dimata kami bahwa ia akan ikut memajukan organisasi dakwah ini dikampus kedepan.

Hari-hari berlalu dengan berbagai kesibukan kuliah dan organisasi, kulihat ia mulai menunjukkan progress setelah aktif di kegiatan pengajian pekanan organisasi kami. Penampilan berubah menjadi syar'i dari yang awalnya masih serba ketat. Pergaulan dikampuspun terjaga dari interaksi berlebihan dengan non mahram. Pokoknya Dimata kami kakak seorganisasinya, ia terlihat gemilang.

Hingga suatu hari kudengar akan ada sidang yang akan dilaksanakan oleh majelis pertimbangan organisasi terkait pemberian iqab seseorang anggota. Aku penasaran, namun aku seperti teman-teman lainnya hanya bisa menunggu hasil sidang keluar.

Ternyata sehari pasca sidang majelis mereka melaksanakan sosialisasi hasil yang isinya, adik gemilang itu diberi iqab/hukuman secara organisasi atas kesalahan interaksi berlebihan dengan salah satu anggota lelaki. Aku kaget tentu saja, teman-teman yang lainpun demikian. Namun kami sadari perubahan baik tidak bisa hanya dinilai dari tampilan luar namun dari hati dan akhlak.

Hukuman yang harus dijalani adalah, seluruh anggota organisasi diminta untuk mendiamkan ia selama dua Minggu. Agar memberikan kesempatan kepada yang dihukum untuk merenungi kesalahannya.

Hari-hari selanjutnya ketika berpapasan dengannya, kulihat ia begitu murung. Mungkin efek hukuman yang sedang ditempuhnya, namun aku juga tak berani menegurnya. Kubiarkan ia berlalu bersama hukumannya, hingga masa dua Minggu selesai.

Hari hukuman berakhir, seharusnya hari itu ia datang di asrama untuk bertemu dengan kami. Segala persiapan telah dilakukan layaknya menanti saudara yang kembali setelah bepergian jauh, suasana penuh sukacita menantinya. Namun hingga hari menjelang sore tidak tampak sosoknya memasuki asrama.

Oleh: Mardha Umagapi

Bersambung dipostingan berikut ya.. 😊

Rabu, 18 September 2019

Berteman Boleh Dengan Siapa Saja, Tapi Untuk Sahabat Pilih Yang Mengingatkan Pada Allah



"Apalah saya jika tidak mengenalnya, mungkin saat ini masih berkutat dengan perbuatan sia-sia".

Jelita mengenang kembali kisahnya, wanita yang saat ini telah memasuki usia kepala tiga. Tampilan jilbab lebar dan gamis longgar menambah teduh diwajahnya. Tak ada yang tahu, kisah masa lalu bertolak belakang dengan kondisinya saat ini. Tepatnya belasan tahun lalu keputusan berubah ditempuhnya setelah menemukan sosok yang memotivasi.

Beberapa belas tahun lalu, Jelita hidup berdasarkan kesenangan semata. Kuliah asal-asalan, nongkrong, pacaran, party dan seabrek kegiatan hedon lainnya menjadi makanan hari-hari. Apalagi didukung keuangan yang lancar dari orangtua setiap bulan membuat hidupnya nyaman dalam kesia-siaan. Tentu saja ada efek dari kegiatan-kegiatan itu, namun ia cuek. Termasuk peringatan dari dosen terkait berbagai tugas kuliah yang absen diselesaikan.

Hingga suatu saat, segala masalah yang ditimbulkan akibat ulah hedonnya mulai mencuat keatas. Mulai dari dikasih SP oleh pihak prodi, teman nongkrong terjerat narkoba yang menyeret namanya masuk dalam daftar periksa, dan orangtuanya tahu sepak terjangnya lalu mulai mengurangi uang bulanan.

Kumpulan masalah ini membuatnya tertekan, butuh bantuan, tapi teman-teman nongkrong dan party tidak ada yang peduli. Masing-masing sibuk dengan diri sendiri. Suatu waktu ia duduk termenung di kampus, tidak masuk kelas ikut kuliah karena presentase kehadiran dan tugas tidak memenuhi syarat. Tiba-tiba ada seseorang menepuk pundaknya, ketika menoleh sosok itu tersenyum menawarkan bantuan.

Dari situlah mereka kemudian bersahabat, gadis tambun berpenampilan syar'i itu berhasil menariknya keluar dari lingkaran kesia-siaan. Membantu Jelita menyelesaikan masalah sebisa kemampuannya. Dari ajakannya lah Jelita aktif mengikuti kajian-kajian keislaman hingga memutuskan untuk berhijrah menjadi pribadi yang lebih baik dan menggunakan waktu hidup secara efisien.

Kini persahabatan mereka telah mencapai usia belasan tahun, meski masing-masing telah berkeluarga dan tinggal di daerah terpisah namun komunikasi tetap berjalan rutin. Jelita bersyukur, ia memiliki banyak teman namun Allah SWT memilih seorang sahabat terbaik yang mengingatkan pada-Nya.

Kisah ini mengingatkanku pada salah satu sabda Nabi SAW :
"Seseorang itu tergantung pada agama temannya. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian hendaknya memperhatikan siapa yang dia jadikan teman (HR. Abu Daud & At Tirmidzi)

Subaim Halmahera Timur, 18 September 2019

Oleh Mardha Umagapi

Selasa, 17 September 2019

Jadi Baik Itu Gampang, Tapi Istiqomah Dalam Kebaikan Itu Sulit Apalagi Disertai Ujian



Rumah dan keluarga seharusnya adalah tujuan pulang ketika kita lelahw, itulah kenapa Rasulullah SAW pernah berkata tentang konsep  "baiti jannati" yang artinya rumahku surgaku. Penggambaran ini secara maknawi menunjukkan kondisi rumah dan keluarga yang seharusnya, yaitu tentram dan menentramkan.

Namun apa jadinya jika tempat pulang yang dimaksud tidak sesuai dengan pengharapan ? Apalagi untuk seorang anak, rumah dan keluarga adalah naungan dan pelindung dari segala marabahaya yang bisa didapatkan diluar sana.

Sebut saja namanya Nia, gadis yang ku kenal dibangku kuliah. Anaknya pendiam tak banyak omong, terkesan misterius jika kita baru mengenalnya. Siapa sangka, ia memiliki kisah kelam dibalik sifat itu.

Usianya masih seumuran anak lulusan SMA pada umumnya ketika mengalami kenangan pahit dalam keluarganya. Ia hampir diperkosa oleh ayah tirinya, namun berhasil kabur dari rumah. Alasan ia kabur karena takut kejadian serupa terulang lagi, sedangkan sang Ibu tak berdaya untuk melakukan apapun.

Hari-hari Nia jalani hidup mandiri jauh dari keluarga yang seharusnya jadi pelindung. Mencoba bekerja sambil kuliah untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Diakuinya memang berat, bekerja untuk memperoleh uang disamping harus fokus kuliah dengan tugas-tugas yang seabrek. Namun tidak ada cara lain, Nia harus bertahan. Seringkali kutanya padanya tentang apa motivasi utamanya kuliah mengingat ia harus banting tulang membiayainya sendiri.

"Nia ingin mama bahagia dan bangga punya Nia." Begitu jawabnya.

Mulia sekali keinginannya, disaat ibu yang seharusnya menjadi tameng tak mampu membela ketika lelaki jahat itu berusaha merampas kehormatannya. Nia masih memikirkan kebahagiaan ibunya. Aku terharu dengan alasannya, mengingat belum banyak yang kulakukan untuk membanggakan ibuku yang kini telah tiada. Jadi teringat kata bijak:

"Sejelek apapun ibu, pengorbanannya ketika mengandung dan melahirkan kita sudah cukup menjadi alasan untuk berbakti sepanjang hidupnya".

Dan Nia melakukan itu, bahkan disaat sang ibu enggan mengangkat telepon sekedar menanyakan kabarnya diluar sana karena takut pada suami yang keji.

Nia saat ini sudah lebih baik dari sebelumnya, ia bergabung dengan salah satu organisasi kampus dan disana mereka banyak membantu untuk tempat tinggal dan makan karena ada asrama khusus. Kulihat penampilannya berubah lebih syar'i dan santun dalam bertingkah.

"Alhamdulillah, Allah kirimkan pertolongannya lewat mereka. Rasa tertekan Nia hilang berganti rasa tenang, mereka bikin Nia lebih dekat dengan Allah." Akunya ketika ditanya perihal perubahannya.

Ya, memang Allah berjanji bahwa hanya dengan mengingatNya hati menjadi tenang. Sejatinya setiap kita memiliki ujian masing-masing dan sesuai kesanggupan diri tidak lebih, kata Allah. Nia mengambil hikmah dari ujiannya kemudian menjadikan hal itu sebagai batu loncatan menuju kualitas diri yang lebih baik.

Subaim, 17 September 2019
Oleh: Mardha Umagapi

Senin, 16 September 2019

Malas Ibadah Tapi Rezeki lancar, Urusan Mudah ? Hati-hati Istidraj

Gambar via Islampos


Seringkali ada yang tak pernah ta'at, tak pedulikan urusan hubungan dengan Allah. Namun Allah kasih harta, kasih kesehatan, kasih kemudahan dan kelancaran. Hati-hati jangan sampai itu adalah istidraj.

Istidraj, kata ini mungkin bagi sebagian orang adalah kata yang asing ditelinga. Istidraj artinya suatu jebakan berupa kelapangan rezeki padahal yang diberi dalam keadaan terus menerus bermaksiat pada Allah.

Dalam sebuah hadist : “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” (HR. Ahmad 4: 145. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain). (Via Rumaysho.com)

Dudi mulai berkisah tentang hidupnya, sebagai lelaki sukses dunia. Kebahagiaan melingkupi hidupnya, urusan keluarga lancar kebutuhan mereka tercukupi, urusan pekerjaan semakin naik karirnya. Pokoknya hidupnya sempurna menurut pandangan orang-orang yang mengenalnya. Ia lalai dengan kewajiban terhadap Rabb-nya, sholat, puasa jarang ia lakukan. Yang rutin mungkin hanyalah zakat fitrah setiap tahun.

Hingga suatu ketika perusahannya bankrut, harta yang bermiliar-miliar bahkan mendekati triliun ludes seketika untuk menutupi kekurangan perusahaan disana sini. Keluarganya terpukul dan tidak siap dengan keadaan.

Si sulung terjerat narkoba berakhir di panti rehabilitasi. Sang istri memilih mundur dari bahtera rumah tangganya, ikut lelaki yang lebih berada. Tinggallah Dudi dan kedua anak lainnya dirumah yang berstatus kontrakan, setelah rumah mewah beserta isi disita bank.

Tragis ? Memang seperti itulah cara Allah menyadarkan seorang hamba yang terlampau lama jauh darinya. Segala perubahan hebat dalam hidupnya membawa Dudi pada perenungan terdalam dihidupinya. Namun ia bersyukur segala embel-embel dunia Allah tarik darinya demi menyelamatkan ia di akhirat.
Dudi Hijrah, memilih hidup lebih dekat dengan Tuhannya. Mengisi hari-hari dengan ibadah dan amalan terbaik. 

Mencari rezeki dengan cara halal, berjualan kerupuk keliling. Kegiatan yang melelahkan tentu saja, namun lelah ini membuat istirahat malamnya lebih berkualitas tanpa beban pikiran urusan keuangan perusahan.

Allah menganugerahkan anak-anaknya, hati dan pikiran yang terbuka untuk menerima hidayah. Berawal dari sulung yang keluar dari panti rehabilitasi dengan bekal agama yang mumpuni selama digembleng disana. Si sulung membantu ayahnya mencari rezeki seraya mendidik adik-adiknya untuk taat.

Oleh: Mardha Umagapi

Minggu, 15 September 2019

Dibalik Kesulitan Pasti Ada Kemudahan

Gambar via Islampos

Tempat Bergantung Terbaik Hanyalah Allah (Bagian 2).

Sedih itu ketika kita dihadapkan dengan masalah lalu keluarga yang menjadi tempat pulang dan memperoleh dukungan justru sumber masalahnya. Sedih tentu saja, merasa homeless apalagi. Namun Mawar sadar bukanlah waktu baginya untuk berlarut-larut dengan keadaan ini. Apalagi berprasangka buruk pada Allah.

Ibu telah meminta pihak pemuka agama di lingkungan untuk berbicara kepadanya terkait pemindahan keyakinan. Namun pembicaraan itu bukan untuk mendengarkan alasannya dan mencermati pilihannya tapi lebih terkesan sebagai sebuah cara memojokkan diri dan Islam yang dipeluknya.

Mawar bersyukur dengan didatangkannya sang tokoh agama itu dan mendengarkan omongan-omongannya justru semakin membuat ia yakin tidak sedang salah memilih. Setelah segala cara dilakukan sang ibu untuk mengembalikan Mawar tak berhasil, ibu mulai berang dan tega dimata Mawar.

Makanan yang seharusnya rutin sesuai jadwal kini seperti mulai berkurang dan ibu berdalih lupa. Ia sadar jika terus dirumah ini akan membahayakan nyawanya.

"Sampai matipun ibu tidak akan tega kamu ikut Islam. Ibu menyesal telah melahirkanmu. Ibu harap telah melahirkan anak lain, bukan kamu."

Begitulah ucapan sang ibu saat Mawar mengiba-iba agar diberi kebebasan dengan keyakinannya yang baru. Jika saja ayahnya masih ada, mungkin keadaan akan masih sedikit welcome untuknya karena sifat ayah yang terbuka terhadap perbedaan.

Demi mendengar pernyataan ibu, Mawar yang awalnya menurut saja dengan hukuman itu berinisiatif kabur. Karena untuk meminta tolong saudara seiman rasanya sulit, ada teman yang datang menanyakan keadaannya pada ibu namun dijawab Mawar telah pergi dari rumah dan tidak tahu kemana. Ibu menutup rapat kondisinya. Apalagi ditambah rongrongan dari keluarga besar, saat ini ada beberapa orang keluarga dari pihak ibu yang menginap dirumah untuk berjaga-jaga.

Malam itu ketika semua penghuni rumah tertidur lelap, ia mencari cara untuk bisa kabur. Perlahan-lahan mencoba keberuntungan lewat jendela yang tidak terlalu susah untuk dibuka. Karena kamarnya berada disisi rumah yang agak sepi, ia berhasil keluar tanpa ketahuan siapapun. Dipanjatnya tembok pagar dengan mudah karena sudah sering dilakukan dulu saat masih sekolah ketika pulang larut.

Mawar memang seorang anak yang keras kepala dan pembangkang sejak dulu, namun siapa sangka sifatnya itu membawa pada sebuah keputusan luar biasa dalam hidup. Berhasil kabur dari kurungan sang ibu, ia berpikir akan minta pertolongan Islamic senter dikotanya untuk masalahnya.

Islamic senter bersedia melakukan pendampingan terkait masalahnya dengan ibu. Ia didampingi mulai dari mediasi dengan keluarga hingga keputusan dilepas oleh keluarga besar dan dianggap tidak ada. Dihapus namanya dalam lembaran hidup keluarga.

Setelah semua ujian berat pasca keimanan ia mulai menata hati dan diri, memilih hidup di dusun tempat ia memperoleh hidayah. Menjalani hari-harinya sebagai santri di pesantren dusun itu. Setiap sujud panjangnya dimalam sunyi, satu do'a selalu ia panjatkan untuk ibunda semoga dibuka pintu hati agar menerima hidayah Allah.

Oleh: Mardha Umagapi

Sabtu, 14 September 2019

Minimalisir Sampah ! Keberlangsungan Bumi Ada Ditanganmu

Nggak ada makanan lagi. :(
Gambar Via vspca.org

Tantangan Pekan 1

Jika kita sadar lingkungan maka sudah seharusnya penggunaan bahan plastik harus dibatasi. Menurut data yang dirilis oleh The World Bank, Indonesia hasilkan 67 Juta Ton sampah tahun 2019 yang kebanyakan adalah sampah plastik Penggunaan plastik memang murah dan memudahkan aktivitas sehari-hari tapi penguraiannya tidak semudah pembuatannya. Plastik membutuhkan waktu puluhan tahun untuk bisa terurai menjadi tanah. Bisa dibayangkan jika sampah plastik yang tidak terurai sebanyak penggunaan penduduk saat ini, maka sampah akan memenuhi bumi dan mencemari air tanah, pakan untuk hewan maupun manusia.

Pentingnya memahami tata kelola sampah di rumah juga perlu diperhatikan, kadang ketika membuang sampah kita tidak memisahkan antara sampah basah dan kering akhirnya penangananpun asal-asalan. Padahal seharusnya, sampah basah yang berisi bahan organik bisa didaur menjadi pupuk yang bagus. Sedangkan sampah plastik dikumpulkan untuk didaur ulang menjadi barang layak guna.

Pembuangan sampah yang tidak benar, misalnya di bantaran sungai dan saluran pembuangan air lainnya seperti parit menyebabkan sirkulasi aliran air ditempat pembuangan menjadi macet. Perlu adanya papan peringatan disetiap tepi aliran sungai tentang larangan membuang sampah, gunanya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan hal ini.

Mengingat pentingnya pengelolaan sampah, ada beberapa trik yang dapat kita lakukan untuk menyikapi permasalahan sampah:
  1.  Cobalah meminimalisir pengguna barang yang menghasilkan sampah.
  2. Jika berbelanja dan memungkinkan sebaiknya membawa wadah dari rumah untuk menaruh barang belanjaan ketimbang membawa pulang tas kresek lagi.
  3. Lakukan pemisahan terhadap sampah basah(organik) dan plastik maupun kertas (non organik).
  4. Upayakan sebisa mungkin mendaur ulang sampah yang telah ada.
  5. Membudayakan memungut sampah yang ditemukan di mana saja dan di letakkan ditempat sampah.
  6. Ajak dan ajarkan cara diatas kepada keluarga terutama anak-anak untuk membentuk kesadaran lingkungan sejak dini.


Beberapa trik ini mungkin masih jauh dari efektif untuk menghilangkan sampah, namun dengan melakukannya kita dapat memberi kontribusi untuk kelangsungan hidup di bumi.

Oleh: Mardha Umagapi

Jumat, 13 September 2019

Tempat Bergantung Terbaik Hanyalah Allah



Beruntunglah orang-orang yang dilahirkan dalam keadaan Islam. Orangtua muslim, keluarga muslim dan dibesarkan dalam didikan Islam.

Hari ini Mawar memutuskan untuk pergi dari rumah, setelah semua gelagatnya selama ini diketahui sang ibunda. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, ia meninggalkan rumah tempatnya dibesarkan dan sejuta kenangan indah didalamnya.

Bulan kemarin disebuah mesjid terkenal di kotanya, ia memantapkan hati untuk memeluk Islam. Bukan sebuah kebetulan tapi ketertarikannya dengan agama ini telah ada sejak enam bulan lalu ketika ia melaksanakan salah satu jenjang diperkuliahannya yaitu KKN, disebuah dusun terpencil.

Dusun yang menjadi titik awal ia bersentuhan langsung dengan nilai-nilai Islam. Kehidupan di sana memang sangat sederhana namun masyarakatnya hidup rukun dan tentram, apalagi dengan adanya sebuah pondok pesantren yang menjadi tempat sebagian masyarakat menimba ilmu darinya.

Ia merasakan keteduhan juga ketenangan batin ketika berada dan berinteraksi dengan masyarakat disusun itu. Rasa frustasi akibat masalah keluarga hilang seketika. Rasa nyaman yang membawa Mawar lebih dalam mempelajari tentang agama Islam di pesantren tersebut. Bahkan setelah kegiatannya selesai, ia meminta saran kepada sang guru di pesantren kemana ia melanjutkan belajar setelannya.

"Apa yang kamu lakukan dengan barang setan ini". Mata sang ibu melolot penuh amarah ketika menemukan terjemahan Qur'an di tumpukan buku yang sengaja ia sembunyikan.

Dari situlah Ibunya mulai memperhatikan segala gerak-geriknya. Namun dengan ketahuan oleh sang ibu, ia lebih semangat untuk mendekat dan memberanikan diri memeluk Islam. Setelah berIslam shalat ia laksanakan sembunyi-sembunyi dikamar. Memang ada niat untuk memberitahukan pada Ibunya namun kesempatan baik belum datang padanya.

Hingga suatu ketika sedang shalat dan lupa mengunci pintu, sang ibu masuk lalu menemukan peristiwa mengejutkan itu. Bukan kebaikan yang ia Mawar dapat setelannya, namun kenyataan pahit menghampiri.

Semua akses keluar Mawar sengaja ditutup oleh Ibu, ia dibiarkan terkurung di kamar sepanjang hari. Handphone disita, hanya makanan yang diberikan ketika waktu makan. Mawar tahu, ini adalah konsekuensi sekaligus ujian pertama keimanannya. Meski ia terancam gagal menyelesaikan studi karena terkurung, ia bersyukur waktu ibadahnya justru lebih baik dan teratur dengan hukuman kurungan dari ibunya.

Bersambung.

Oleh: Mardha Umagapi

Kamis, 12 September 2019

Menikah Bukan Hanya Karena Cinta Tapi Karena Ibadah


Dia tahu lelakinya marah, namun jujur diakuinya susah untuk melepaskan diri dari hal-hal yang telah membersamainya sejak remaja. Bahkan benda-benda itu telah sedari tadi dienyahkan sang lelaki di parit besar belakang rumah mereka yang baru ditinggali beberapa pekan.

Sejak awal memang mereka telah berkomitmen untuk menjalankan rumah tangga ini sebagaimana rumah tangga para perindu surga. Namun baginya ini adalah sesuatu yang berat untuk sebuah proses yang tergolong instant.

Panggil saja Rani, wanita yang supel dalam pergaulan dan pandai dalam berpenampilan menjadikan ia seorang primadona desa. Sudah banyak lelaki yang datang dengan berbagai latar belakang dan tak kalah keren untuk meminangnya. Namun pilihan hatinya jatuh kepada seorang lelaki sederhana dengan pandangan teduh dan menentramkan jiwa menurutnya, Sang Lelaki yang kemudian menjadi suaminya.

Sebelum menikah, Rani memang tergolong gadis aktif di desanya. Semua kegiatan desa terutama dalam hal olahraga digandrunginya yang secara tidak langsung mempengaruhi penampilannya saat itu. Celana pendek ala-ala atlet sudah menjadi kesehariannya, make-up diatas minimalis adalah gambaran wajah yang dikenali orang untuknya.

Hal ini yang ingin diperbaiki bersama suaminya, sang suami ingin membimbing kearah yang lebih baik. Dimulai dari penampilan. Namun ternyata tak mudah dalam sekejap mata.

"Rani butuh waktu by".

Begitu rengeknya pada sang suami setelah terjadi insiden siang itu. Kejadian yang memicu amarah suaminya. Gegara ia hadir dipertandingan volly desa dengan dandanan seperti masa gadis. Sebenarnya Rani risih untuk kembali berhias saat tampil dikhayalak ramai namun beberapa bisikan tetangga akhir-akhir ini membuatnya tertantang.

"Si Rani setelah menikah terlihat kusam, tidak secerah dulu".

Begitu salah satu celoteh yang ia dengar. Kemudian membuatnya melanggar perjanjian dengan sang suami. Penyesalan tampak pada wajahnya, sebagai wanita yang telah bersuami ia sadar ta'at adalah hal yang wajib dan terganjar pahala oleh Allah. Apatah lagi untuk sebuah kebaikan.

Kini satu dekade telah lewat setelah peristiwa itu. Ia merasakan kebaikan semakin mengalir dalam dirinya berkat bimbingan sang suami. Keputusan hijrah yang diambil sepuluh tahun yang lalu membawanya kepada titik kebahagiaan hakiki bersama lelaki yang menjadi cintanya.

Tidak ada seharipun dari hidupnya setelah menikah kecuali bersama-sama membenahi diri bersama sang suami. Saat ini ia bahkan dikenal sebagai sosok perempuan agamais di desanya. Pengaruh pandangan masyarakat kepadanya mulai berubah ketika ia bersungguh-sungguh hijrah ditambah posisi sang suami yang kemudian menjadi anggota legislatif daerahnya, membuat sepak terjang kebaikannya semakin meluas.

Oleh : Mardha Umagapi

Rabu, 11 September 2019

Cinta Habibie & Ainun Dikeabadian


Beberapa tahun lalu Indonesia dikagetkan dengan berpulangnya Ibu Negara yang ke-3, Ibu Hasri Ainun Habibie dipangkuan sang suami di negara yang nun jauh disana, Jerman. Berbagai berita muncul ke permukaan yang membahas sisi hidup pasangan suami istri ini.

Kisah hidup sepanjang kisah kasih kebersamaan mereka begitu menarik perhatian publik. Bahkan Sang Suami, Habibie menuangkan semua kisahnya dalam sebuah buku yang berjudul "Habibie & Ainun". Hingga booming film layar lebar hasil adaptasi buku tersebut.

Memang kisah cinta mereka "melukiskan sejarah" seperti syair lagu soundtrack dalam filmnya yang tayang tahun 2012. Cara Habibie memuliakan Sang Istri, cara Ainun berbakti pada Sang Suami adalah hal yang langka kita temukan di era ini. Apalagi untuk kelas orang sibuk dan penting seperti keluarga mereka. Ini menjadi contoh yang patut ditiru.

Dikisahkan tentang bagaimana seorang Habibie rela bangun malam ditidur lelapnya untuk menggantikan popok dan membuat susu untuk anaknya, hanya karena tak ingin mengganggu tidur istrinya. Bagaimana seorang Ainun ditengah kesibukannya sebagai Ibu Negara tak pernah mewakilkan urusan keperluan suaminya kepada orang lain meskipun sekecil menyiapkan obat untuk minum.

Disaat-saat terakhir hidup Ainun, Habibie tak pernah absen disisinya hingga kematian menjemput. Kisah cinta sejati yang jarang bisa ditemukan untuk diabadikan seperti milik mereka.

Saat ini Sang Kekasih telah menyusul belahan jiwa menuju haribaan-Nya. Dua insan yang kisahnya abadi meski raganya tak lagi bersemayam di dunia. Tak ada yang lebih bahagia bagi Habibie selain berjumpa kembali dengan Ainunnya dikeabadian.

Untaian do'a banyak yang terpanjatkan, semoga dipersatukan seperti harapan mereka selama ini.

"Dulu saya takut mati, sekarang tidak. Karena yang pertama kali yang ingin saya temui adalah Ainun". (BJ Habibie)

Selamat jalan Bapak Teknologi, bangsa Indonesia kehilangan sosok cendekiawan dan ilmuan muslim hebat sepanjang sejarah.

Oleh: Mardha Umagapi

Selasa, 10 September 2019

Utamakan Cinta-NYA Sebelum Cintanya


Matahari pukul sembilan pagi bersinar cerah mengangkat dinginnya pagi tadi akibat hujan semalam. Langkah kaki bergerak memasuki halaman rumah mungil nan asri. Aku memang telah berjanji untuk bertemu dengannya lewat chating kemarin sore. Seseorang yang ku minta untuk menjadi narasumber cerita.

Wanita dengan jilbab lebar dan wajah terbalut sehelai kain penutup tampak anggun mempersilahkanku untuk masuk dan duduk diruang tamunya. Ia menyajikan secangkir teh hangat dan setoples Kue Nastar yang katanya sisa lebaran, untuk menemani perbincangan kami pagi itu.

Darinya aku tahu bahwa ia pernah menikah dan memiliki anak, saat kutanya kemana keluarganya karena selama ini ia hanya tinggal sendiri.

“Mereka telah memiliki kehidupannya sendiri, begitu juga denganku”. Jawabnya.

Ya, wanita tegar ini hidup sendiri seperti yang selama ini kami semua ketahui. Diusinya yang beberapa tahun lagi memasuki kepala empat, ia menjalani semua aktivitas keseharian seorang diri dirumah dan mengajar di sebuah sekolah Islam sebagai rutinitas hariannya.

Hidup sendiri tentulah bukan sebuah pilihan yang ia inginkan, namun ini merupakan konsekuensi atas keputusan yang harus ia ambil demi menyelamatkan aqidahnya.

“Mencintai seseorang yang berbeda keyakinan dengan kita memang berat, disatu sisi kita tahu itu dosa, tapi disisi lain perasaan berperan besar”. Lanjutnya.

Sebut saja namanya Anggun, beberapa tahun lalu ia jatuh cinta pada seorang pria yang dikenal dikampus. Dengan perbedaan yang sangat besar karena berbeda keyakinan, sang pria memilih mengalah untuk ikut dengannya, tentunya hal ini menjadi suatu kebahagiaan bagi Anggun karena impiannya untuk hidup bersama pria yang dicintai terpenuhi tanpa rasa bersalah kepada Tuhannya.

Pernikahan yang diimpikan pun terlaksana, mereka hidup berkecukupan pasca kampus dengan mendapatkan pekerjaan yang layak. Kebahagian bertambah dengan kehadiran putri pertama mereka, rasa cinta kian terpupuk.

Namun satu hal yang mengganjal hati Anggun adalah penerimaan pihak keluarga suami terhadapnya belum terbuka sejak awal menikah. Hingga suatu hari sang suami mendapat kabar jika ibunya sakit sehingga membutuhkan kehadirannya. Anggun ikut serta ke daerah suami sekalian menjalin kedekatan keluarganya.

“Sejak sampai disana, saya tidak pernah sekalipun diajak bicara oleh ibu mertua. Hanya adik kakaknya yang mengajak bicara namun terkesan menjaga jarak”. Anggun berkisah.

“Suatu hari terjadi keributan hebat, dirumah ibu mertua kedatangan para keluarganya dan mereka heboh dengan keberadaan kami yang telah bebeda keyakinan. Suamiku disebut penghianat keluarga. Tidak diizinkan untuk hadir dilingkungan keluarga lagi, karena suami bersikeras untuk bertahan akulah yang memilih untuk pulang.” Lanjutnya.

“Terus anaknya bagaimana?” Tanyaku.

“Diminta tinggal disana dengan alasan ibu mertua yang sakit-sakitan dan masih kangen dengan cucunya”. Jawaban yang mengiaskan wajah sendunya.

“Setelah sampai disini apa komunikasi dengan suami masih lancar?” Kutahan diri untuk tidak terlalu mengintrogasi, namun rasa penasaran mengalahkannya.

“Minggu-minggu awal masih lancar, namun semakin kesana suami seperti enggan memberi kabar”. Ia menjawab.

“Hingga suatu hari aku mendapat kabar dari teman lama yang tinggal didaerah itu, ia melihat suamiku bersama keluarganya bersama-sama mengunjungi tempat ibadah mereka dan beribadah disana.”

"Tentu saja hal ini sangat menggangguku, kucoba paksa untuk mendapat kabar darinya via adiknya karena nomornya tidak lagi aktif.”

“Ia, minta agar aku melupakannya. Dan berterus terang bahwa telah kembali pada keyakinannya yang dulu.” Terlihat matanya berkaca-kaca, aku mengambil jeda dengan meneguk minuman yang dihidangkan.

Suasana hening sebentar diantara kami, aku takut memulai bertanya lagi, takut mengorek luka lamanya. Namun tanpa diminta ia melanjutkannya.

“Anak kami bersamanya, dan aku tahu akan sulit untuk meminta anak bersamaku. Hingga kuajukan gugatan cerai kepengadilan, ia sulit melepaskanku katanya masih cinta. Ia minta aku bersama keyakinannya, namun dari lubuk hati yang paling dalam aku tak mampu melakukannya. Allah masih memberikan setitik cahaya keimanan dihatiku yang lama tak mendekat padanya.”

“Dengan adanya masalah rumah tanggaku, aku mulai rutin shalat lima waktu bahkan shalat malam yang kumantapkan hatiku dijalanNya.” Sambungnya.

Ternyata semua rangkaian sidang cerainya berjalan lancar setelah itu, meski dengan rasa rindu yang dalam terhadap anaknya. Ia berusaha bangkit dan mencari jalan hidayah untuknya dengan bergabung disebuah kelompok pengajian yang membawanya hingga pada penampilan saat ini.

Saat kutanya apakah ia belum ingin menikah lagi, jawabannya masih berupaya menghilangkan kenangan rumah tangganya yang dulu.

Oleh: Mardha Umagapi

Terinspirasi Dari kisah seseorang yang pernah singgah dipikiranku.

Senin, 09 September 2019

Jangan Menghakimi Seseorang Karena Masa Lalunya


Pandanglah Dia Yang Saat ini.

Jika dilihat dari penampilannya saat ini, tak ada yang menyangka masa lalu yang gelap pernah menghampiri dan menguasainya. Semua orang tahu bagaimana sepak terjangnya dimasa lalu. Tampilan yang selalu hot dilingkungan tempat tinggal didukung dengan kondisi fisik yang menarik sering membuat mata para lelaki terpana.

Puncaknya ketika ia telah menyelesaikan belajarnya dibangku Sekolah Menengah Atas, ia dikirim orang tuanya untuk kuliah keluar daerah tempat tinggalnya. Disana segala bentuk kebebasan diraihnnya termasuk dalam hal pergaulan. Sudah berulang kali berita tentang tingkah lakunya sampai kepada orang tuanya namun mereka memilih mendiamkan dan percaya padanya. Namun kepercayaan itu tak dihargai olehnya, ia menuai hasil dari pergaulannya, kembali pulang dengan bayi merah ditangan tanpa kejelasan ayah sang anak.

Satu kampung geger tentu saja, kejadian yang sudah diperkirakan oleh masyarakat kampung akhirnya terjadi. Orang tuanya sangat terpukul dengan kejadian itu hingga mengirimnya pergi jauh dan menetap dirantau orang. Berita tentangnya mulai hilang ditelan waktu.

Beberapa tahun kemudian kampung kembali dikagetkan dengan kehadiran wanita dengan penampilan serba tertutup yang ternyata adalah dia. Hadir dengan didampingi seorang suami yang santun dan shalih yang menerima segala kelam masa lalunya, dan memulai hidup didaerah itu dengan mengesampingkan berbagai cemoohan.

Dia wanita yang tegar, meski masih ada saja mata yang memandang rendah dirinya karena kejadian masa lalu namun dibalasnya dengan sikap santun layaknya seorang muslimah perindu syurga. Kepribadiannya benar-benar berubah kearah yang baik sesuai tuntunan agama.

Penampilannya menyejukkan siapa saja yang memandangnya, Allah menunjukkan kuasaNya bahwa siapa saja yang dikehendaki kebaikan olehNya maka dari kumbangan lumpur dosa manapun asal ada keinginan menjadi baik akan terangkat dan bersinar diwaktunya.

“…Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (QS. Al Qashash : 56)

Subaim, 09 September 2019
Oleh : Mardha Umagapi

Berusaha Mengendalikan Hawa Nafsu: Tadabbur An Nazi'at Ayat 40-46

  Ciri-ciri Penghuni Surga 1. Takut pada Allah 2. Mengendalikan hawa nafsu 3. Terlibat dalam dakwah وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَ...